[Buku] Army of None, “Senjata Otonom dan Masa Depan Perang”

155
0

Ilustrasi Buku Army of None karya Paul Scarre, Buku yang menarik dan membuka mata kita tidak hanya tentang robot otonom tapi juga tentang senjata dan perang. (Sumber gambar: CNAS)

Saya mengetahui tentang buku ini pertama kali saat judul buku tersebut masuk kedalam daftar 5 buku terbaik di tahun 2018 menurut Bill Gates yang ia bagikan di story instagram resminya. Melihat judulnya yang menarik dan tema yang unik saya pun tertarik untuk membacanya. Dan akhirnya hingga adi malam dengan bahagia akhirnya buku ini menjadi buku berbahasa inggris pertama yang berhasil saya baca tuntas. Saya senang dapat menyelesaikan buku ini dan saya berharap sih ini menjadi suatu awalan bagi saya untuk dapat mengakses lebih banyak lagi buku buku yang saya inginkan, mengingat banyak buku buku bagus dan ingin saya baca relatif lama dan saya tunggu sekian lama tak kunjung di alihbahasakan dan kemudian diterbitkan dalam bahasa indonesia.

Dengan saya selesaikannya buku ini setidaknya nambah PD untuk membaca buku buku seperti itu hehehe. Hal ini karena dari dulu beberapa kali beli buku dengan bahasa inggri selalu terganjal dengn bahasa dan malas untuk bolak balik kamus untuk mengartikannya. Hingga akhirnya saya menggunakan google playbook semua jadi terasa lebih mudah dan hitung hitung sebagai salah satu media belajar berbahasa inggris bagi saya hehehe.

.@BillGates recommends Army of None as one of his top 5 books in 2018: “this thought-provoking look at A.I. in warfare is hard to put down” pic.twitter.com/g0uHfWwMiT

— Paul Scharre (@paul_scharre) December 4, 2018

Oke, kembali ktopik bahasan. Pada tulisan ini saya ingin memberikan sedikit ulasan dan pendapat tentang sebuah buku karya Paul Scarre yang berjudul Army of None. Secara garis besar buku dengan ketebalan 532 halaman termasuk dafar pustaka dan lampiran foto foto lainnya ini menggambarkan dan menceritakan tentang robot otonom dengan segala perkembangan dan kemudian kelebihan juga kelemahannya. Meski terlihat bahwa buku ini ditulis oleh seseorang yang mendukung aksi pelarangan robot otonom penuh, namun yang saya suka dari penulis ini adalah pemberian narasi yang sangat minim bias subyektifitas untuk pihah yang pro dengan robot otonom dan yang saya sukai dari buku ini adalah kemampuan sang penulis dalam menyusun ceritanya sehingga tidak monoton dan membiosankan untuk dibaca disertai pengungkapan fakta fakta yang mengagetkan terkait perang dan persenjataan.

Sebagai salah satu penghargaan terhadap buku ini dan ekspresi saya yang menyukai buku ini maka pada tulisan ini saya akan mengulas hal hal menarik yang saya temui pada buku ini. Jika tertarik silahkan teman teman lanjutkan bacaan ini #monggo

Narasi Perang Dunia Ke III yang Hampir Saja Terjadi

Buku ini diawali dengan sebuah narasi yang menurut saya sudah menggambarkan segala pergulatan batin tentang baik tidaknya sebuah senjata otonom melalui suatu kejadian yang mungkin banyak orang tidak ketahui bahwa bumi ini pernah hampir kiamat. Ini sebuah peristiwa di zaman perang dingin antara Soviet dan Amerika. Saat itu perlombaan senjata nuklir membawa kedua kubu kedalam suatu kondisi tipis tipis mendekati perang nuklir.

Ilustrasi ledakan nuklir, Jika bentuk ledakannya bisa berbentuk ala badut yang lagi ngece gitu semakin epik tampaknya ya hehehe (Photo by Pixabay from Pexels)

Dalam ketegangan yang terjadi, pada malam hari tanggal 26 September 1983 Letkol Stanislav Petrov sedang berjaga dan mengemban tugas sebagai pelapor untuk peluncuran nuklir. Malam itu sirine tanda bahaya berbunyi dan berdasarkan satelit yang dimiliki oleh Soviet, Amerika telah meluncurkan roket berhulu ledak nuklirnya ke udara, dalam keraguannya jikalau saat itu terjadi kesalahan sistem kemudian muncul peringatan lagi yang ke dua dan seterusnya hingga ke lima yang menggabarkan bahwa lima roket telah meluncur dari Amerika.

Saat itulah Stanislav Petrov menghadapi pilihan yang berat dan penuh dengan keambiguan, tidak mudah baginya untuk memutuskan apakah peringatan tersebut benar ataupun sebuah kegagalan sistem dan tentunya kedua pilihan tersebut memiliki konsekuensi yang sangatlah besar bahkan dapat memicu terjadinya perang nuklir. Hingga waktu waktu terakhir akhirnya Stanislav Petrov menahan reaksi serangan untuk memastikan benar apa yang sedang terjadi.

Dan benar saja, ternyata tidak ada serangan dan objek yang terdeteksi sebagai peluncuran roket tersebut hanyalah pantulan sinar matahari oleh puncak awan. Coba bayangkan apa yang terjadi bila sistem peluncuran nuklir tersebut adalah sebuah sistim yang otonom, mungkin saja dunia akan jauh berbeda dengan hari ini.

Buku yang Bercerita [Tak Hanya] Tentang Robot

Meskipun pada bab bab awal buku ini menggambarkan seberapa cepat perkembangan robot saat ini baik yang bergerak didarat, lautan hingga udara. Baik yang bergerak sebagai robot tunggal maupun yang berbentuk kawanan (swarm). Di awal kita disuguhkan betapa dasyatnya perkembangan robot dari yang otomatis (Automatic) yang secara sederhana merasakan dan menjalankan aksi sesuai dengan program linear/ atau batasan situasi yang telah diberikan atau secara sederhana dapat disebut sebagai threshold-based system. Automated (saya tidak tahu padanan kata yang pas untuk istilah ini) sebagai suatu sistem yang mulai komplek dengan program nonliniernya dan memiliki pembobotan pembobotan pada masing masing pilihannya atau secara sederhana dapat disebut sebagai rule-based system. Hingga yang terakhir adalah Otonom (Autonomous) sebagai suatu sistem “robot” yang telah memiliki kecerdasan dapat menentukan sendiri langkah langkah yang dibutuhkan untuk mencapai suatu tujuan tertentu (goal-based/self-directed system).

X-47B sebagai salah satu drone yang secara otonom pada tahun 2013 dapat mendarat di sebuah kapal induk dan menjadinya sebagai salah satu batu pijakan penting menuju perkembangan tekhnologi senjata otonom.

Dalam buku ini, Paul Scharre tidak hanya menampilkan perkembangan robot otonom dengan segala citranya yang dibangun seperti pada film film fiksi ilmiah dari astroboy hingga terminator. Namun lebih dari itu, buku ini juga menjelaskan perkembangan pertarungan manusia dari saling pukul, melempar batu, menuju pada senjata tajam, panah, senjata api senjata mesin dan seterusnya dengan berbagai konsekuensi yang diakibatkan baik dari segi teknis, segi efektifitas dalam perang hingga segi moral yang ditabrak. Berdasarkan itu pula kemudian Paul Scharre dengan sangat apiknya menyandingkan dan membandingkan kedua sisi sentimen positif dan negaif dari senjata otonom.

Dalam penjelasan dan proses membangun narasinya tersebut diungkap pula beberapa fakta yang membuat saya kaget dan terdiam sementara. Salah satunya adalah dalam perang ternyata lebih dari 80% tentara sengaja memelesetkan tembakannya agar mengarah pada arah yang salah dan tidak mengenai target seperti diatas kepala, dan beberapa sisi yang sengaja mereka simpangkan agar tidak mengenai musuh mereka. Hal ini diakibatkan oleh suatu penghambat alamiah suatu spesies untuk tidak membunuh sesamanya, namun karena kondisi psikologis, tekanan dari pihak berkuasa, difusi tanggung jawab, dehumanisasi musuh serta peningkatan jarak secara psikologis, pada akhirnya hambatan alamiah manusia yang menjadikan keengganan untuk membunuh abai dan terkalahkan.

Chappie, sebuah film tentang robot otonom yang cakep dan agaknya saya jadi ingin nonton lagi stelah baca buku ini dibandingkan dengan film terminator, ini lebih oke kayak e (sumber: Digital Trends)

Saya rasa faktor-faktor inilah yang dimanfaatkan dan di modifikasi oleh orang orang yang berkepentingan baik pihak militer maupun pihak perekrut terorisme dalam menyiapkan seseorang untuk siap membunuh sesamanya. Sehingga terkadang kita kita tidak melihat ekspresi bersalah dan tertekan pada pelaku pembunuhan baik dalam suatu operasi militer maupun aksi aksi tidak bertanggung jawab yang terorganisir lain seperti tindakan terorisme. Saya akan coba menguraikannya secara singkat satu persatu, bukan untuk mengajarkan cara cuci otak tetapi sekedar informsi agar tidak terperosok kedalam hal tersebut, karena disekitar kita baik secara sadar ataupun tidak sudah bertebaran hal hal tersebut.

  • Pertama adalah mengkondisikan psikologis seseorang dengan berbagai cara seperti salah satunya adalah memaparkannya pada informasi dan situasi situasi ekstrim.

  • Kedua adalah meberikan tekanan berdasarkan kekuasaan, baik dengan fisik langsung maupun tindakan tindakan yang menyebabkan seseorang tidak berdaya untuk menolak.

  • Cara ketiga adalah mendifusikan tanggung jawab dengan cara pembagian tugas yang guyub dan rumit sehingga mengaburkan fakta terkait siapa yang bertanggung jawab sebenarnya.

  • Cara keempat adalah dehumanisasi musuh dengan mengikis sisi humanisnya baik secara langsung maupun dengan narasi yang berputar yang memberikan sisi jahat, hewan dan tidak manusiawinya musuh tersebut dan jauh dari sisi manusia. Atau dengan menggantikan target manusia pada musuh menjadi target target fisik lainnya seperti bangunan dll yang kemudian secara tidak langsung juga emberikan dampak pada musuh

  • Cara kelima adalah membuat suatu jarak fisik dan psikologis antara seseorang dan musuhnya hingga kemudian juga dapat memberikan efek dehumanisasi. Hal ini dapat dilakukan dengan cara meningkatkan jarak fisik dan juga memisahkan dan meningkatkan perbedaan perbedaan antara lawan dan musuh sehinggi muncul penggolongan yang ekstrim.

Jadi melenceng ya dari yang seharusnya. Sebenarnya tidak, karena ternyata dalam kajian kajian yang di jelaskan dalam buku tersebut, ternyata kehadiran senjata otonom akan meningkatkan kelima faktor tersebut yang kemudian menjadikan pembunuhan musuh menjadi sesuatu peristiwa yang biasa dan tidak ada yang perlu menanggung beban tanggung jawab karenanya. Hal inilah yang kemudian ditakutkan meski harus diakui pengaplikasian enjata otonom dapat meningkatkan presisi dan efektifitas dalam peperangan, nmaun sebagai dampak sampingnya yang mengaburkan beban tanggung jawab dan lainnya maka opsi perang akan semakin mudah untuk dipilih. Dan tentunya hal tersebut bukanlah hal yang diinginkan. Biar bagaimanapun juga “There is no glory in war” (Silvia Cartwright )

In a world where autonomous weapons bore the burden of killing, fewer soldiers would presumably suffer from moral injury. There would be less suffering overall. From a purely utilitarian, consequentialist perspective, that would be better. But we are more than happiness-maximizing agents. We are moral beings and the decisions we make matter.

(Paul Scharre, Army of None)

Ini suatu qoutes yang paling saya sukai dalam buku ini. Dari quote ini kita diingatkan bahwa bukan sekedar agen yang hanya mengejar dan memaksimalkan kebahagiaan diri kita, kebahagiaan apapun itu baik kebahagiaan di dunia ataupun kebahagiaan diakherat. Kita tercipta untuk lebih dari itu, kita adalah entitas moral yang segala tindakannya memiliki arti, baik untuk diri sendiri, orang lain dan mungkin bila boleh sedikit hiperbola saya dengan yakin mengatakan bahwa kita jugalah yang menjadi bagian dalam menggerakan dunia ini akan kemana dimasa depan apakah baik ataupun suram tergantung dari tinakan kita dan keberanian kita bertanggung jawab setelahnya.

Saya kira cukup itu dulu untuk cerita tentang buku Army of None saat ini, saya suka buku ini dan menilai 4/5 dan jika teman teman berminat silahkan baca hehehe dan ingat belilah secara legal (tapi kalau pingin link yang ilegal silahkan hubungi saya hehehe #bercanda). Sampai jumpa pada tulisan saya berikutnya

Salam ala cyborg

dewa putu a

Sumber Sumber

  • Scarre, Paul, “Army of None: Autonomous Weapons and the Future of War”,2018

  • Featured Image by Computerizer from Pixabay

dewaputuam
WRITTEN BY

dewaputuam

I'm a Disaster Analyst, Agro-Climatologist, and GIS Analyst. I like drawing, writing, playing guitar, gardening, and maybe reading too.

Leave a Reply

Total
0
Share

Discover more from Dewa Putu AM

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading