Pada tulisan kali ini saya ingin mengungkapkan keresahan dan kegelisahan yang saya rasakan sekian lama hingga puncaknya beberapa bulan ini. Mungkin teman juga merasakan hal yang sama atau justru belum sadar dengan apa yang terjadi saat ini. Saya kurang begitu nyaman dengan apa yang dilakukan media digital akhir akhir ini, khususnya artikel-artikel berita dari media nasional kita Baik itu Kmpas, Dtik, T*ibun atau apapun lah itu saya rasa semua kini sama saja.
Mereka sudah tidak berniat lagi membuat berita. Alih alih menawarkan dan memberikan kita informasi dan pengetahuan melalui berita mereka, kini mereka justru menjual kita. Yup menjual kita secara harfiah. Jika tidak percaya cobalah sekali kali kunjungi situs berita yang saya sebutkan tadi. Jika ingin dibandingkan tingkat kenyamanannya dalam membaca pastilah terlihat dengan jelas akan penurunan disetiap waktunya.
Iklan Penuh Menutupi Layar, Hingga saya Bingung Itu Situs Berita yang ada Iklan Atau Situs Iklan yang Ada Berita
Situs berita itu sudah tidak jelas jundrungannya dan lebih mirip situs abal-abal yang bertebaran iklan iklannya bertebaran memenuhi layar bak iklan iklan judi online. Iklan menutupi layar, kanan kiri ada iklan dan susah lagi menutupnya hingga terkadang saking susahnya kita “tidak sengaja” menekan iklan tersebut. Ini nih taktik tidak etis yang saya rasa keterlaluan diterapkannya pada banyak situs.
Okelah, kita juga memang harus sadar gratisnya kita mengakses situs berita itu karena adanya iklan yang bertebaran ini. Ini jika dilakukan dalam kondisi yang sewajarnya, namun yang terjadi justru sebaliknya. Iklan yang bertebaran terlalu banyak dan tidak jarang muncul sebagai pop up, background dan juga video tentu juga akan memakan habis kuota kami. Saya merasa dirugikan untuk ini. Belum lagi video yang bersuara itu tiba tiba mengelegar di saat saya membaca di ruang publik, komplit sudah payahnya situs berita sekarang dari segi kenyamanan.
Dari banyaknya iklan yang memenuhi layar tanpa memedulikan kita sebagai pembaca adalah suatu ciri awal bahwa komoditas utama situs tersebut bukanlah berita atau informasi dan layanan apa pun itu. Kita sebagai pembaca lah yang menjadi komoditas utama mereka yang akan mereka jual sebagai angka statistik kunjungan untuk meningkatkan nilai jual mereka pada pengiklan. Kita hanya dianggap statistik dan komoditas yang diperjualbelikan. Sebagai gambaran untuk memudahkan situs berita yang demikian wujud aslinya adalah toko iklan yang memperjual belikan kita sebagai kerumunan yang dianggap siap melihat iklan mereka. #KitaDijual
Konten murahan penuh Klik Bait dan Akal Akalan Membuat Kualitas Konten yang Semakin Payah dan Sudah Tidak Layak Konsumsi Lagi
Untuk iklan saya masih lah memaklumi dan masih oke sebenarnya hitung sebagai bayaran kita atas layanan mereka, meski secara tidak langsung berarti juga kita menjual diri kita untuk dapat mengakses konten yang mereka berikan. Tampak mengerikan ya istilahnya. Tetapi itulah kenyataan yang kita hadapi saat ini. Saya pernah membaca frasa yang tepat menggambarkan situasi kita saat ini namun maaf saya lupa frasa tersebut dari siapa. “Saat kita mendapatkan layanan atau produk secara gratis, ketahuilah bahwa yang menjadi produk sebenarnya dari platform tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah kita.” #KitaDijual
Terlepas dari urusan periklanan yang mengurangi kenyamanan kita itu ada hal yang membuat saya tersakiti dan merasa diinjak injak dan ditipu. Ini soal kualitas konten mereka yang menurut saya tidak jarang sudah sulit untuk tolelir lagi. Sudah “jual diri” kan demi bisa akses konten mereka, eh yang didapat hanya konten sampah yang sulit sekali dibayangkan dapat dibuat oleh manusia berpendidikan.
Konten yang ada saat ini penuh dengan klick bait, judul yang sering tidak sesuai dengan apa yang diberitakan dan sedihnya beberapa dari konten tersebut seperti menghalalkan segala cara hingga mereka membuat judul yang memicu perpecahan di kalangan masyarakat. Dari segi kunjungan jangka pendek trik ini memanglah akan menghasilkan kunjungan yang berjibun tapi pernahkah mereka berpikir dampak nyata dari apa yang mereka tuliskan itu. Rasa tanggung jawab media terhadap apa yang mereka tuliskan saat ini saya rasa sangat rendah. Jika ada yang salah mereka dengan mudahnya meminta maaf atau lebih payahnya lagi mereka secara sembunyi mengedit begitu saja apa yang mereka telah tulis tanpa adanya permintaan maaf.
Masih terkait konten yang payah, ada beberapa yang paling saya tidak suka dari konten berita yang mereka berikan selama ini yang menurut saya hal itu masuk kategori payah, jelek dan bahkan jahat. Beberapa diantara-Nya yaitu
- Konten terlalu singkat 100an kata namun tidak jelas apa maksudnya. Konten seperti ini sering kali saya lihat dan setelah membacanya saya merasakan begitu hampa karena tidak adanya esensi yang kita dapat dari konten tersebut.
- Konten sengaja dibuat banyak halaman meskipun sebenarnya bisa disingkat dalam satu halaman saja. Ini strategi yang marak dilakukan saat ini. Untuk meningkatkan jumlah view, satu artikel sering dipecah menjadi banyak halaman. Hal ini akan elok bilamana artikel tersebut memang terlalu panjang. Namun seringnya justru artikel pendek tidak lebih dari 100 kata per halaman. Ini sadis sekali sekaligus menyedihkan.
- Konten yang tidak sambung antara judul dengan isi. Kalau sudah begini saya sudah tidak bisa berkata kata lagi sih. Sekali saja menemukan hal seperti itu tindakan saya selanjutnya sudah pasti, block dan tidak mau lagi kembali ke situs itu.
Hukum Kontennya dan Kasihani Situsnya, Mereka seperti ini hanya tuntutan untuk dapat bertahan di lingkungan kita sekarang
Keresahan ini tidak hanya dirasakan oleh kita para pembaca. Namun dirasakan pula oleh para praktisi yang bergerak di media tersebut. Hal ini terjadi semenjak kue periklanan di lalap habis oleh raksasa internet seperti google dan Facebook. Sejak ada mereka uang periklanan untuk media yang selama ini membuat mereka bisa tetap exist terus terpangkas dan mengharuskan mereka menekan diri mereka untuk memproduksi konten sebanyak banyaknya untuk mengundang para pembaca dan menjaring pundi iklan. Persaingan yang ketat mengharuskan mereka memproduksi berita dan konten secara masal. Hal ini lah yang kemudian banyak mengorbankan kualitas dari konten itu sendiri.
Menulis itu bukan hal yang mudah dan butuh waktu lama untuk menghasilkan suatu tulisan yang bagus dan enak dibaca. Sebagai contoh untuk tulisan yang biasa saya buat butuh waktu yang tidak sebentar 3 jam lebih untuk menulis suatu tulisan yang lebih dari 1000 kata. Tiga jam itu pun belum dihitung waktu yang dibutuhkan untuk parafrase dan poles sana sini setelah membaca berulang ulang serta mendapat kritikan dan saran dari teman. Untuk beberapa topik yang lebih berat lagi biasanya akan membutuhkan waktu hingga dua kali lipat dari waktu biasanya.
Itu untuk tulisan sekelas blogger seperti saya. Tentunya untuk tulisan dari media dalam hal kualitas, standar nya tentu jauh lebih baik dari apa yang biasa tulis, karena beban dan tanggung jawab yang diemban konten tersebut jauh lebih besar. Hal ini lah yang kemudian membuat waktu dan suberdaya yang dibutuhkan dalam penulisan konten yang berkualitas memanglah tidak sedikit.
Proses produksi konten berkualitas yang membutuhkan effort dan waktu yang panjang dalam pengerjaannya kemudian menjadi tidak relevan dengan bisnis model yang banyak dianut media mainstream saat ini. Sebuah model yang lebih menuntut dan mementingkan segi kuantitas dibandingkan kualitasnya. Serba salah memang, bila terlalu idealis memberikan konten yang berkualitas namun butuh waktu akan sulit bagi media untuk hidup dan bertahan agar tidak tergerus lainnya.
Dari beberapa analisis terkait seperti yang dilakukan oleh remotivi dan apa yang kita lihat secara kasat mata media pun sudah berusaha mengatasi permasalahan ini dengan membuat segmentasi pada konten mereka dan menjadikannya beberapa kelas. Ada yang kelas ekonomi yang selama ini saya ulas pada tulisan ini (tulisan gratisan buat pembaca). Dan segmen ke dua adalah tulisan tulisan yang premium. Beberapa media yang saya sebut sebelumnya juga mengakali dengan cara segemtasi ini dengan penamaan dan pendekatan yang bisa saja tidak sama persis.
Segmentasi ini merupakan suatu solusi yang bagus menurut saya karena dapat memberikan layanan dan produk sesuai dengan preferensi dan budaya dan situasi membaca masing masing konsumen. Bagi para pembaca judul, pemhasan dalam terkait suatu berita ataupun ide bukanlah hal yang perlu dan hanya membuang buang waktu saja. Dan bagi orang yang memang berminat lebih dalam pemhadannya dan kualitad tulisannya tentunya perlu memberikan sedikit pengorbanan materi. It’s fair enough for me.
Hanya sedikit ganjalan yang menurut hemat saya perlu lebih diperhatikan lagi. Para pembaca judul itu di negeri kita itu tidak menempati proporsi minoritas, mereka itu mayoritas, termasuk saya didalamnya dalam berbagai kondisi tertentu saya juga masuk persatuan para pembaca judul. Alhasil sering kali kita temui kisruh ditimbulkan dari pemberitaan yang tidak bertanggung jawab. Meski minim kata, please lah buat konten yang bertanggung jawab dan meres duit ya juga tidak sebegitunya sampai mengesampingkan kenyamana para pembaca dan janganlah sampai dengan tulisan tulisan yang tidak jelas tersebut justru menimbulkan dampak dampak yang merugikan orang lain.
Jika memang sulit menjual konten berita berkualitas di jaman sekarang setidaknya jual lah para pembaca kalian secara santun dan bertanggung jawab ya———— #eh
(Dewa Putu AM, 2019)