Saya tertarik untuk membaca buku biografi ini dengan harapan dapat tahu dan memahami perjalanan hidup seorang pak Topo, apa yang pernah ia lalui dulu dan bagaimana ia menyikapinya hingga kemudian membuat beliau dikenang seperti saat ini. Mengutip dari salah satu bagian dibuku ini saya dan tentunya banyak dari teman teman akan sepakat bahwa “Beliau bukanlah sosok yang besar karena posisi ataupun jabatan beliau, Tapi beliaulah yang membesarkan posisi dan jabatan tersebut.”
Pada tulisan saya saat ini saya akan sedikit mengulas dan mengomentari sebuah buku biografi yang berjudul “Sutopo Purwo Nugroho, Terjebak Nostalgia” karya Fenty Effendy. Agar mempermudah dan tidak perlu repot membaca tulisan ini sampai akhir ada baiknya saya sampaikan saja keseimpulan saya mengenai buku ini di awal dulu ya hehehe. Secara umum buku ini bagus meskipun dari segi design cover sedikit kurang menarik. Banyak nilai nilai yang menginspirasi yang dapat kita pelajari dan ikuti dari sosok Pak Opo yang diceritakan dalam buku ini.
Jangan menilai Buku Hanya dari Covernya, Dari Buku Ini Saya Banyak Belajar
Dalam memilih buku biasanya saya menempatkan cover sebagai filter awal yang menentukan suatu buku layak atau tidak layak dibeli dan dibaca. Meskipun banyak orang yang mengatakan untuk tidak menilai buku dari covernya namun menurut saya justru dari cover tersebut kita melihat kesunguh sungguhan tim penerbitan dalam menulis buku tersebut. Singkat kata cover buku ini kurang menarik, pemilihan warna, potongan gambar sosok Pak Topo dari buku ini tidak rapi dan sedikit kurang puas karena saya yakin mereka tentulah dapat membuat yang lebih baik lagi dari yang sekarang.
Buku Biografi ini masuk buku yang tipis tepatnya 200 halaman dan memiliki jarak spasi yang lebar sehingga dari sini semestinya buku ini dapat kita baca habis. dalam waktu yang singkat. Satu hari untuk melahap buku ini masihlah mungkin bahkan dengan kecepatan membaca yang normal sekalipun. Dari segi bahasa yang digunakan enak sekali untuk dibaca, ini yang penting dan masih nyaman untuk diikuti seperti kita sedang membaca sebuah novel. Alur yang sedikit lompat lompat terkadang membuat saya sedikit bingung dengan apa yang dibahas namun secara garis besar dari fisik dan penulisan buku biografi ini masih bagus dan layak untuk dibaca terlepas kekurangan dari segi design cover kurang terlihat keren.
Duet Maut dan Lucu S. Maarif- Topo Hingga Sosok Sederhana dan Humanis Seorang Pak Topo
Dari buku ini kita akan dibawa oleh penulis untuk mengenal lebih dekat pada sosok Pak Topo (Sang Informan Bencana) menyelami kisah kehidupan, perubahan pola pikir hingga pembangunan karakter beliau dari sosok seorang anak yang hanya ingin berbakti pada orang tuanya, kemudian terpuruk dan gamang karena kegagalan. Sutopo berkembang terus menjadi peneliti cerdas yang idealis namun kemudian saat bertemu soskm Samsul Maarif bergolak kembali kemudian menjadi sosok peneliti yang humanis.
Salah satu bagian yang paling saya suka dalam buku ini adalah saat beliau yang seorang saintist garis keras yang kebetulan melihat dengan mata kepala sendiri kondisi terakhir tanggul situ gintung. Ia kemudian meneliti tentang fluks karbon dari sungai sungai di Jawa, tiba tiba ditanya Pak S. Maarif “Ini kok saya lihat semuanya tentang sains ya. So what? Ini untuk manusianya bagaimana?”. Saya menyukai bagian ini karena saya rasa dari sinilah kemudian Pak Topo berbalik dan menjadi sebesar sekarang. Nilai kemanusiaan, sebuah nilai yang terkadang terlupakan oleh beberapa peneliti. Terus berpegang dan berkutat pada apa yang ia sukai, terus mengembara menjelajahi area yang ia suka hingga lupa kembali ke tujuan awal, menambahkan nilai kemanusiaan.
Selain bagian itu masih banyak hal menarik dibahas di buku ini, kisah percintaan beliau, hingga pada kisah yang membuat saya berkaca kaca. Selain apa yang kita sering lihat dan diketahui banyak orang tentang kiprahnya sebagai informan bencana banyak rahasia rahasia beliau yang diungkapakan juga dalam buku ini dan kesempatan menjadi Profesor, masuk ke ring satu istana dan jabatan yang ternyata banyak sekali beliau tolak karena keiinginan beliau untuk tetap mengabdi dan mencurahkan segala yang ia punya demi kemanusiaan sebagai seorang informan bencana.