[Buku] Nexus, Sejarah Informasi dari Zaman Batu hingga AI

Buku berjudul Nexus, sebuah Sejarah Singkat Jaringan Informasi dari zaman Batu hingga Jaman Kecerdasan Buatan karya Yuval Noah Harari ini merupakan buku ke 4 yang selesai saya baca di tahun 2025 ini. Jika harus memberi penilaian singkat di awal dalam satu frasa saja, saya rasa frasa “POV Radikal yang Mendasar” cocok untuk memberikan gambaran utuh…


Buku berjudul Nexus, sebuah Sejarah Singkat Jaringan Informasi dari zaman Batu hingga Jaman Kecerdasan Buatan karya Yuval Noah Harari ini merupakan buku ke 4 yang selesai saya baca di tahun 2025 ini. Jika harus memberi penilaian singkat di awal dalam satu frasa saja, saya rasa frasa “POV Radikal yang Mendasar” cocok untuk memberikan gambaran utuh bagi kesan saya saat membaca buku ini.

Sesuai dengan latar belakang keahlian dari Yuval Noah sebagai sejarawan, dalam buku ini bisa dikatakan mampu memberikan cara pandang dan analisis yang mendalam terhadap beberapa contoh peristiwa penting dalam sejarah tentunya dari sudut pandang jaringan informasi. Buku Nexus secara runut menceritakan kepada kita bagaimana manusia mulai mengenal storytelling sebagai salah satu teknologi terpenting pertama para Sapiens yang membuat bisa bertahan terhadap zaman yang kemudian berkembang ke budaya tulis dari zaman batu hingga komputer dengan dukungan algoritma canggih serta kecerdasan buatan.

Konsep dan gagasan yang kaya di dalam buku ini sebenarnya membuat saya cukup kesulitan juga untuk memilih dan memilah apa yang harus saya tuliskan dalam ulasan saya sekarang. Namun demikian akhirnya saya putuskan untuk lebih fokus pada kesan saya secara umum saja saat saya membaca buku dengan 500 halaman. Cukup tebal dan memang sulit bila harus mengekstrak semua gagasannya dalam satu tulisan saja. Jadi sepertinya menarik jika untuk detailnya satu persatu konsep dalam buku ini nanti juga akan saya tuliskan dan rujuk dalam tulisan tersendiri tentunya saya sesuaikan lagi dengan konteks dan peristiwa yang relevan saat itu. 😌🙏🏻

Mikey Mouse dan Sapu Ajaib

Saya suka cara Youval Noah yang membuka bukunya melalui cerita klasik berjudul The Sorcerer’s Apprentice karya Johann Wolfgang von Goethe yang ditulis pada tahun 1797. Karya ini kemudian diadopsi juga dalam Mickey Mouse The Sorcerer’s Apprentice yang merupakan segmen ketiga dan paling terkenal dalam film animasi Disney tahun 1940, Fantasia.

Diceritakan Mikey Mouse yang mendapatkan pengetahuan sihir ketika ia menemukan dan kemudian mengenakan topi milik seorang penyihir, meskipun pada mulanya ia tidak bisa sihir. Kemampuan sihir yang ia dapatkan secara tiba tiba tersebut kemudian ia gunakan untuk berbagai hal termasuk menghidupkan sapu agar bisa bergerak secara otomatis untuk membantu kerjanya memindahkan air ke dalam sebuah bak mandi.

Terlena dengan kajaiban yang ia hadapi, Mikey Mouse pun mulai bermalas malasan dan santai. Namun alih alih membuatnya hidup nyaman dan santai, pengetahuan sihirnya itu kemudian mulai di luar kendali. Mikey justru berhadapan dengan kekacauan yang tidak terelakkan. Impiannya untuk santai santai pun pupus dan berganti kesusahan yang harus ia alami kemudian.

Cerita itu memberikan kita gambaran sebuah pandangan yang naif bila kita menganggap kekayaan informasi yang kita miliki akan serta merta membawa kita kepada kebaikan. Animasi klasik tersebut menjadi analogi yang menarik untuk menggambarkan kondisi saat ini dengan perkembangan teknologi seolah memberikan kita sebuah topi penyihir dengan akses berlimpah pada berbagai macam pengetahuan yang bila tidak digunakan secara bijak akan kian membuat kita terlena.

Sapu yang dapat bergerak secara otomatis juga sudah terwujud di sekitar kita saat ini berbagai perangkat yang ada saat ini sudah banyak yang bisa bekerja secara otomatis untuk melakukan hal yang repetitif dan tidak sedikit pula yang sudah dapat mempelajari situasi dan kondisi lingkungannya sehingga seolah dapat mengambil keputusan secara mandiri.

Mikey dan Topi dan Sapu Ajaibnya yang menggambarkan Pandangan Naif tentang Informasi

Jika di dalam kisah The Sorcerer’s Apprentice diakhiri dengan kekacauan, kemudian muncul pertanyaan berikutnya, “apakah kondisi yang sama akan atau sudah terjadi terjadi pada kita? Buku ini mengantar kita masuk jauh ke dalam sejarah manusia yang berevolusi bersama berkembangnya jaringan informasi yang menyatukan, memisahkan membentuk sistem politik demokratis dan otoritarian bahkan dalam berbagai kasus menjadi alasan beberapa genosida yang pelik.

Bak seorang peramal, penulis juga kemudian menelisik pola pola perkembangan yang ada kemudian mengekstrapolasinya dalam kondisi saat ini dan potensi kedepan dimana jejaring informasi tidak hanya menyentuh setiap manusia dipenjuru bumi namun juga dilayani oleh algoritma yang menyelaraskan kita dan mengarahkan pada “sesuatu”. Dan dibagian akhir kita juga diajak untuk berhadapan dengan kecerdasan buatan (AI) yang kian membawa kita kepada sesuatu yang semakin dekat dengan batasan kendali kita.

Why are we so good at accumulating more information and power, but far less successful at acquiring wisdom?

-Yuval Noah-

Sudah banyak contoh pertumpahan darah yang terjadi yang dalam buku ini dapat dijelaskan dalam konteks perkembangan informasi yang terjadi dari upaya pemburuan penyihir yang pernah terjadi di Eropa,

Penyelarasan Konsep dan Makna Informasi

Buku nexus Sumber Gambar (https://www.thalia.de/shop/home/artikeldetails/A1070860415)

Sama halnya dengan cara ia menyampaikan gagasan di buku pertamanya yang berjudul Sapiens, Yuval Noah Harary tidak hanya sekedar bercerita tentang sejarah dengan gaya apa adanya. Setiap peristiwa penting dalam sejarah dari bagaimana manusia purba berkenalan dengan konsep “bercerita” yang kemudian mengenal budaya tulis, yang bergerak pada birokrasi sebagai peroses pemilahan informasi dalam laci-laci. Yuval Noah juga mulai memasuki area area “yang mungkin”sensitif” tentang Agama dengan Kitab suci dan organisasi keagamaan nya. Hingga pada dua jenis sistem perolitikan Demokrasi dan Totalitarian dan diakhiri dengan refleksi keadaan saat ini sekaligus proyeksi kedepan dengan adanya teknologi algoritma komputer dan Kecerdasan Buatan.

Sebagai perangkat analisisnya Yuval Noah mengawali bukunya melalui pengenalan sudut pandang naif dan Populis tentang informasi, termasuk melalui kisah The Sorcerer’s Apprentice. Kita juga kemudian dibawa untuk menyamakan persepsi kita tentang berbagai konsep dasar tentang Informasi yang memberikan gambaran tentang Realitas, baik realitas Objektif, Subyektif dan Realitas Intersubyektif (tautan tulisan saya sebelumnya tentang ini). Selain sebagai gambaran dan pembentuk realitas atau sebuah konsep Informasi yang menjadi sebuah “Order”. Saya kurang bisa mendapat padanan kata “order” dalam bahasa Indonesia secara harafiah mungkin bisa diartikan sebagai tatanan, tetapi dalam buku ini juga ada nuansa permintaan, perintah atau kuasa dalamnya atau mungkin sepertinya lebih cocok diartikan sebagai arahan. Dalam bukunya Yuval Noah menjelaskan secara luas apa itu Realitas Intersubyektif yang dibentuk oleh informasi seperti kehadiran konsep “negara”, “Bangsa”, “Uang” bahkan “Agama”.

Dalam mencerna buku ini memang sering kali kita harus secara bijak memahami bahwa kita boleh saja sepakat dan juga tidak sepakat dengan gagasan yang ada, yah mengingat dalam beberapa bagian saya rasa Yuval Noah cukup berani dan provokatif menguliti berbagai hal. Yang agak ngeri ngeri memang saat membahas agama yang dikatakan sebagai “sesuatu yang dianggap tanpa cela”. Konsep inilah yang terus dikuliti oleh sang penulis dalam bukunya.

Namun terlepas dari kontorversi cara dirinya menulis, menurut saya bagaimana cara Yuval bercerita memberikan banyak sekali wawasan dan cara pandang yang baru yah meski terkadang memang tidak sesuai dengan nilai nilai yang ada dan kita yakini saat ini. Salah satu konsep yang saya suka adalah tentang realitas intersubyektif yang buat saya dapat memberikan penjelasan berbagai fenomena yang ada disekitar kita.

Nexus dan Berbagai Kisah Penuh Darah

Nexus dapat kita pahami sebagai sebuah istem jejaring realitas intersubyektif yang baik secara disadari (terencana) maupun tidak disadari perlahan lahan membentuk realitas realitas baru ditengah kita. Dari hal sepele hingga hal kompleks seperti negara ,Agama, uang dan sebagainya. Sayangnya dalam beberapa kasus evolusi jejaring informasi dengan realitas interubyektif nya alih alih mengarahkan kita pada kebijaksanaan dan kesejahteraan justru menghujamkan kita kedalam jurang yang penuh darah. Ya, dalam beberapa ulasannya Yuval Noah coba menjelaskan berbagai peristiwa Genosida yang menjadi catatan kelam dalam sejarah manusia.

Dan disetiap lompatan besar perkembangan jaringan informasi seringkali disertai dengan kisah sedih genosida atau bentuk kekacauan lainnya yang tidak kalah mengerikan. Dalam buku ini mengupas berbagai peristiwa dari Pemburuan penyihir di Eropa dan Amerika yang menimbulkan puluhan ribu korban jiwa yang pernah terjadi panda sekitar tahun 1450 hingga 1750 yang terjadi pada saat yang sama media cetak ditemukan. Kemudian peristiwa genosida terhadap kaum Yahudi pada perang dunia ke dua, kehancuran ekonomi Uni Sovyet dan satu kisah juga yang dulu sempat ramai dibahas yakni genosida etnis Rohingya di Myanmar yang banyak dari para ahli menduga terdapat andil dari algoritma yang ada di sosial media (Facebook).

Sosok Yuval Noah Harari penulis Buku Nexus dan Sapiens

Pola jejaring informasi yang ada di sistem Demokrasi dan Totalitarian juga menjadi fokus pembahasan dari buku ini. Dilihat dari pola jejaring informasi nya, sistem Demokrasi dengan fokus pada kebebasan individu memiliki perbedaan mendasar dengan sistem Totalitarian cenderung terpusat pada satu entitas. Hal ini juga menimbulkan perbedaan pada proses koreksi mandiri yang pada sistem Totalitarian lebih sulit dibandingkan dengan Demokrasi yang bersifat dinamis. Yang saya suka dari buku ini adalah meskipun memang perlu diakui beberapa gagasan lebih condong pada demokrasi namun tetap diangkat pula kelebihan dari Totalitarian itu sendiri khususnya pada kemudahan dalam pengambilan keputusan yang dalam hal ini berguna pada beberapa kondisi ekstrim seperti pandemi COVID19 yang banyak sekali sifat Totalitarian yang justru mendominasi. M elalui buku ini antara Demokrasi dan Totalitarian bukanlah dibahas sebagai hitam dan putih saja melainkan lebih banyak pada sisi abu-abunya dengan kecondongan pada Demokrasi ataupun Totalitarian. Bagi sebagian orang mungkin beberapa quotes akan sedikit teringat pada sesuatu termasuk quotes di bawah ini.

While many people embrace populism because they see it as an honest account of human reality, strongmen are attracted to it for a different reason. Populism offers strongmen an ideological basis for making themselves dictators while pretending to be democrats.

  • -Yuval Noah-

berbagai isu yang dibahas dalam buku Nexus saya merasa memang sangat dekat dengan keseharian kita, namun demikian ini memang bukan serta merta hitam dan putih. Apa yang kita anggap “real” salah bisa jadi itu hanya salah satu wujud “realitas intersubyektif” yang tumbuh di beberapa orang seperti kita namun dalam “realitas” lainnya itu bisa jadi benar, atau ada realitas penyerta lainnya yang menjadi latar belakang semua itu yang tidak kita tahu informasinya.

Kompleksitas realitas intersubyektif kemudian berkembang kian kompleks dengan kehadiran teknologi saat ini dengan realitas intersubyektif anorganik (Realitas interkomputer) yang dalam beberapa kasus memang masih bisa kita pahami namun dalam semakin banyak kasus jsurtu mulai diluar kuasa kita sehingga dalam tulisannya di Nexus Yuval Noah mengambil istilah AI sebagai Alien Inteligence alih alih Artifisial Inteligence, mengingat kecerdasan yang ada itu semakin lama terus berkembang tanpa adanya peran langsung pengkodean dari manusia.

Algoritma saat ini yang lebih berfokus pada tugas untuk meningkatkan engagement kita terhadap pembuat aplikasi terus membanjiri kita dengan informasi yang secara ajaib sesuai dengan preferensi kita. Hal ini merupakan lompatan besar dari sebelumnya informasi seperti yang terkandung dalam buku, kitab suci, radio dan televisi bersifat publik saat ini memberikan kesan yang lebih intim kepada kita dan menyesuaikan diri kita. Alogoritma yang tertanam dalam sosial media dan berbagai aplikasi lainnya saat ini dalam dampak yang ekstrim justru menyuapi kitap pada informasi informasi yang mempengaruhi realitas intersubyektif kita. Hal inilah yang terjadi pada Genosida Myanmar yang setelah diselidiki sosial media (facebook) algoritmanya justru lebih banyak menyarankan berbagai konten yang mendiskriditkan suku Rohingya dan memicu pergerakan genosida yang mengerikan.

Saya sisipkan gambar ini dari tulisan The Conversation tentang Bagaimana Facebook Ikut Andil dalam genosida di Rohingya (Tautan artikel dapat diakses di sini)

Hal ini hanya dari Algoritma komputer yang memberikan saran berdasarkan tugas untuk meningkatkan engagement nya dengan cara memilah milah konten yang ada dan menyarankan dan sayangnya pada saat itu justru meningkatkan konten yang bersifat SARA dan mengantarkan pada peristiwa berdarah tersebut. Belum lagi dengan perkembangan teknologi saat ini yang semakin canggih. Di tengah perkembangan Kecerdasan buatan yang cenderung mengarah pada kecerdasan alien selain harus diakui memberikan banyak peluang kesejahteraan namun patut disadari pula membawa beberapa tantangan didalamnya. Keberadaan kecerdasan buatan dengan kemampuannya dalam mengalisis pola dari data dengan jumlah besar dan juga saat ini juga mampu menggenerasi membuat konten tulisan maupun visual, bukan tidak mungkin kedepan akan ada kebingungan bagi kita untuk membedakan antara apakah gagasan itu berkembang dari agen organik (manusia) atau kecerdasan buatan (AI).

Dari sinilah kemudian sang penulis mulai mengekstrapolasi pengetahuan dan analisis sejarahnya menuju sebuah konsep masa depan yang akan kita hadapi, saat kecerdasan buatan mendominasi. Distopia dominasi kecerdasan buatan mungkin tidak se eksplisit yang ada di film Terminator dengan robot robot pembunuhnya. Namun lebih halus, bukan tidak mungkin kecerdasan buatan bila diberikan tujuan yang spesifik dan jelas dengan etik etika nya akan mengantarkan kita pada perpecahan dan Genosida berikutnya yang secara perlahan mengantarkan manusia pada akhir eksistensinya.

Pemahaman kita tentang Nexus sebagai jejaring realitas intersubyektif (organik dan anorganik) menjadi penting saat ini. Mengingat arus informasi yang ada saat ini twrus mengombang ambing kita ke berbagai realitas yang kita anggap sebagai “Realitas Obyektif” yang tanpa celah sedangkan pemahaman yang bersebrangan akan kian semakin menjadi salah dimata kita entah kita labeli Bodoh, jahat dan lainnya. Kondisi demikian tidak hanya berlaku pada aubywk subyek individu saja dalam konteks yang lebih luas bisa menghadap hadapkan pada kelompok kelompok yang semakin jauh perbedaannya dan entah untuk tujan tertentu bila saah langkah AI dan segala telnologi yang membuat kita terlena itu mengantarkan kita pada sebuah kekacauan yang tidak pernah terbayangkan.

Sama seperti yang terjadi pada kisah The Sorcerer’s Apprentice, kita saat ini berasa di persimpangan jalan yang membawa kita pada pembelajaran berikutnya atau bahan pembelajaran bagi teknologi kita “meski tanpa ada lagi eksistensi dari kita”.


Leave a Reply

Total
0
Share

Discover more from Dewaputuam

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading