Minggu ini tampak begitu panas ya. Agak sedikit malas rasanya untuk jogging sore di minggu ini untuk sekedar menjaga Konsistensi dalam berolahraga dan menjaga kebugaran. hahaha alasan yang remeh tapi lumayan berdampak setidaknya untuk beberapa bulan ini sejak PPKM di Bali setiap sabtu dan minggu sore saya sempatkan untuk berolahraga.
Oia selain dalam berolahraga, saya juga sedang berusaha konsisten untuk membaca, bermain musik dan juga menulis. Salah satu bentuk usaha saya ya tulisan yang kawan kawan sedang baca saat ini. Mungkin tidak berat berat seperti pada tulisan sebelumnya Saya ingin menceritakan sebuah film yang semalam berhasil sedikit membuat saya terjaga hingga pukul 2 malam. Menurut saya film ini cukup menarik. Judulnya “Morgan”. Film ini keluaran tahun 2016 disutradarai Luke Scott dan diperankan oleh Anya Taylor‑Joy sebagai Morgan serta Kate Mara sebagai Lee Weathers.
Alur Cerita Morgan Sang Manusia Buatan yang Memiliki Emosi dan Menginginkan Kebebasan
[Spoiler Alert]Pada dasarnya film ini menceritakan tentang sosok perempuan manusia buatan hasil rekayasa yang diberikan bernama “Morgan”. Manusia buatan tersebut pada dasarnya masih sangat muda dan baru berumur 5 tahun namun memiliki perawakan layaknya seorang gadis berumur 20-an tahun. Dalam film tersebut dijelaskan bahwa Morgan disini merupakan salah satu hasil dari lompatan teknologi yang sangat besar hingga ia dapat merasakan emosi layaknya manusia dan mempunyai kemampuan otonom atau dapat mengambil keputusan secara mandiri.
Konflik mulai muncul ketika Sosok “Morgan” ternyata menemui kegagalan pada sistem pengambilan keputusannya (Error) hingga dia melukai salah satu tim riset yang merawat dirinya. Kegagalan sistem tersebut disebabkan karena Morgan yang selama ini terkurung dalam sebuah lingkungan yang sangat kecil, diajak oleh salah satu tim riset untuk jalan jalan melihat danau dan dikenalkan dengan konsep kebebasan sehingga dirinya yang saat itu belum siap memberikan respon yang tidak diinginkan.
Untuk mengatasi hal tersebut dikirim agen “Analis Risiko” dari perusahaan yang membiayai program Morgan yakni Lee Weathers. Agen tersebut ditugaskan untuk menganalisis risiko dari perkembangan proyek Morgan. Dan ia pun ditugaskan untuk melakukan “tindakan yang diperlukan” untuk menghabisi project morgan bila dirasa gagal. Di film ini ditunjukan konflik yang tidak hanya secara fisik namun konflik batin antara rasa memiliki (kecintaan) dari para peneliti kepada karyanya yang dalam hal ini adalah Morgan (dalam wujud manusia buatan) yang bila diperhatikan kece si aktingnya kelihatan kosong pandangannya.
Yah pada akhirnya dalam suatu uji yang dirancang untuk kecerdasan buatan, ternyata morgan tidak dapat lulus dan malah kembali mengalami error yang menyebabkan proyek Morgan harus dinyatakan gagal dan untuk Morgan harus dimatikan. Para peneliti yang tidak tega pun kemudian memberontak dan berusaha untuk menyelamatkan Morgan namun sayangnya malah terbunuh oleh Morgan, ciptaannya sendiri.
Akhirnya aksi laga pun dimulai dan morgan dengan dinginnya membunuh para penciptanya hingga tersisa satu saja seorang yang ia masih percaya dan yang sebelumnya mengajak dirinya bermain ke Danau.
Lee Weathers pun mengejar dan memburu untuk membunuh Morgan. Dengan segala upaya akhirnya berhasil mengejar Morgan hingga ke sebuah danau yang dijanjikan oleh salah satu peneliti tersebut dan di sana Morgan akhirnya berhasil dibunuh oleh Lee Weathers yang ternyata merupakan salah satu manusia buatan sebelum morgan namun berbeda dengan Morgan yang memiliki emosi dan otonom, Lee Weather lebih dingin dan patuh terhadap misi yang diberikan kepadanya.
Morgan memiliki Ide Alur Cerita yang Menarik dengan Pembangunan Karakter yang Seperti Itu Saja
Pada saat menonton film Morgan saya teringat akan dua hal yang pertama sebuah film lain yang mengangkat tema yang sama yakni Ex Machina karya Alex Garland. Yah, bila saya coba bandingkan film ini memang cukup jauh bila dibandingkan dengan Ex Machina yang saya anggap sebuah film yang dalam hal penyampaian bisa saya katakan nyaris sempurna. Namun dari segi ide masih mengangkat masalah yang sama yakni kecerdasan buatan yang berbalik melawan penciptanya.
Selain Ex Machina saya juga teringat pada buku yang sempat saya baca yakni Buku Army of None karya Paul Scarre yang saya pernah ulas dalam tulisan ini. Dari buku tersebut diceritakan banyak dilemma baik secara teknis maupun norma dalam menghadapi perkembangan mesin mesin otonom untuk peperangan.
Saya sebenarnya berharap sangat besar dari film ini di awal awal film. Saya berharap mendapatkan sajian konflik batin yang lebih mendalam dan perbenturan norma norma kemanusiaan dan segala eksistensinya yang ada. Namun sayangnya alih alih memberikan sajian konflik yang dalam film ini saya rasa justru kurang memberikan pembangunan karakter yang kuat dalam cerita.
Salah satu contoh yang sangat saya sesalkan, pada film ini menyebutkan bahwa Morgan memiliki kecerdasan yang sangat tinggi diatas orang orang kebanyakan namun alih alih memberikan tindakan tindakan yang cerdas, film justru menunjukan kemampuan Morgan sebagai cenayang yang mengetahui nama dan anak dari tokoh lainnya. Tidak ada kemampuan yang spesial dari kecerdasan buatan tersebut seperti memanipulasi pikiran, logika dan emosi orang seperti yang dilakukan di film Ex Machina. Yah saya akui memang kurang sedikit fair si jika saya membandingkan film ini dengan film sekelas Ex machina hehehe.
Sekian tulisan saya hari ini, jika disimpulkan film ini saya rasa masih termasuk filem yang menarik untuk ditonton namun jangan terlalu berharap akan dihadapkan dengan konflik batin yang sangat dalam. Namun saya rasa dalam beberapa adegan film ini sebenarnya sudah mencoba untuk membangun hal tersebut, namun ekspektasi saya saja ya yang mungkin terlalu tinggi. Saya rasa nilai 3.5 dari 5 film ini sangat layak untuk diberikan. Dari ide dan ekspresi tokoh utama yang dingin itu yang paling saya suka dan menurut saya sangat keren.
Saya rasa itu saja dulu yang dapat saya ceritakan dalam tulisan ini. Sampai jumpa pada tulisan saya berikutnya.
Salam
Dewa Putu Am
Feature Image by: IMDB