Covid19 dan Kenapa “Mereka” menolak ‘fakta’ dan tidak menuruti anjuran dari “Yang Bukan Mereka”?

184
0
Tangan kita penuh warna, (Photo by Sharon McCutcheon from Pexels )

Beberapa minggu belakangan ini saya merasa mulai bosan dan suntuk dengan topik pemberitaan dan pembicaraan yang beredar di sekeliling saya. Mungkin teman teman juga merasakan hal yang sama. Pada awal awal pandemik bahkan sampai sekarang, meskipun bosan melanda saya tetap mengikuti terus perkembangan yang ada karena jujur saya sedikit panik dan skeptis dengan penanganan yang ada sekarang yang jika harus berkata jahat, yup kita sudah terlambat 2 bulan.

Tapi ya sudahlah, terlepas dari semua itu tidaklah penting memikirkan hal yang sudah lalu.., Oia saya juga risih dengan pemikiran beberapa orang yang terlalu fokus pada apa kedepannya. Entah itu mengatakan Indonesia hari ini adalah Italia 2 minggu lalu. What the #meeh do you think bro n sist? kalian ingin hal serupa terjadi di sini? yang harus lebih kita pikirkan adalah tentang hari ini, bukan tentang lalu ataupun esok. Boleh kita menatap kedepan, atau kebelakang itu tidaklah haram selama masih ada makna yang bisa kita ambil.

Stop misuh2nya, pada tulisan ini saya ingin sedikit berdiskusi tentang perilaku denial “Mereka“. Kata “mereka” sengaja saya gunakan untuk mengakomodir jikalau teman2 berkelok maaf saya tidak termasuk. 🙂

Fakta, Apa itu fakta. Kita tidak berpikir dan bertindak berdasarkan “Fakta” melainkan berdasarkan “Rasa”

Saya tidak tahu darimana harus memulainya tetapi Perkembangan covid19 semakin meresahkan belakangan ini menyebabkan pemerintah kita akhirnya mengambil kebijakan dan arahan sekaligus mengenalkan kepada kita beberapa istilah baru, canggih dan mungkin asing bagi sebagian orang (termasuk bagi saya hehe) yakni Social Distancing dan Work from home (WFH). Segala hal dilakukan pemerintah dan melalui berbagai media, baik media cetak,elektronik televisi, berita berita online, kanal youtube dan segala media yang ada bahkan melalui media purba seperti sms pun digunakan pemerintah kita untuk memberikan informasi dan “fakta” terkait Covid19 dengan segala printilannya yang saya yakin nih teman-teman sudah sering mendapatkannya dari yang info resmi maupun hoax.

Pemerintah dan kebanyakan dari para pengambil keputusan pun terus memperbaharui namu sayangnya juga beberapa kali diselingi dengan saling cekal dan klaim mulai dari tampilam mana yang paling bagus lagi canggih hingga isu yang “penting” tentang informasi siapa yang benar dan mana yang salah, mulai dari jumlah korban, jumlah positive,siapa yg berhak membagikan data itu, data dan fakta apa yg boleh dibagikan data dan fakta mana yang kurang perlu atau bahkan tak etis bila dibagikan.

Saking seru, heboh dan canggihnya mereka mengelola fakta dan informasi, hingga membuat kadang kita lupa pada sesuatu yang seharusnya menjadi pertanyaan inti dan terpenting untuk dijawab. Apakah informasi itu tadi efektif, dan mampu “Menggerakan” masyarakat kita?

yang dalam hal ini untuk diam di rumah dan menjaga jarak aman atau apapun itu arahannya. (coba lihat dan lirik sekeliling) jawabanya bisa jadi berbeda,.. berbeda dari yg diinginkan hingga tidak jarang muncul keluhan kenapa dia seperti ini kenapa masih saja tidak peduli dengan arahan dan masih pelesiran kemana2 melakukan aktifitas seperti biasa sembari berbagai penyakit. Kesal memang,.. dan kadang kita tidak habis pikir dengan tindakan yg orang orang tadi.

Memang sedikit tidak nyaman dan mengengkang, tetapi mau bagaimana lagi. Photo by cottonbro from Pexels

Apakah masyarakat kita memang sebodoh” ini apakah se denial ini terhadap kasus yang hingga saat ini telah menelan korban jiwa belasan ribu dan besar kemungkinan akan terus bertambah,.. mungkin dari negara kita akan menyumbang lagi (semoga tidak banyak atau bahkan cukup segini saja tidak usah ada tambahan lagi) itu tentu harapan kita bersama #meskikecilkemungkinan.

Apakah fakta yang mendukung kurang? apakah fakta2 dan informasi itu masih sulit dipahami? apakah mereka memang bodoh?

Sebelum menjawab itu semua,… baiklah, kita anggap dulu fakta dan informasi yang diberikan pemerintah dan berbagai praktisi lainnya masih kurang kuat dan kurang mudah dipahami dan masih sangat baru bagi otak otak beku kami kaum rebahan santuy ini. Namun coba duduk sebentar dan coba lirik disekitar kita, pernahkah teman teman melihat bungkus rokok? se-eksplisit apa dampak dampak (fakta) dari rokok yang jelas sekali digambarkan di bungkusnya? apa pendapat teman2, apakah fakta2 tersebut masih kurang, apakah fakta2 itu sulit dipahami, apakah fakta2 tersebut hal yang baru? kita tahu bersama seperti apa efektifitas fakta2 itu pada perokok dan calon perokok baru. efektifkah ?

“Dunia ini tidak digerakan oleh informasi, orang orang tidak membuat keputusan berdasarkan kebenaran atau fakta fakta.Dunia ini digerakan oleh perasaan , dan atau “sebuah nilai” yang akan mengambil posisi lebih tinggi dari fakta tersebut. 

Mark Manson (Everything is F*ck)

Beranjak dari gagasan inilah saya jadi berpikir apakah hal yang terjadi pada peringatan kesehatan pada bungkus rokok juga terjadi dengan peringatan pemerintah soal pengendalian Covid19 akhir akhir ini. Besar kemungkinan hal itu terjadi. Jika kita telusuri baik lagi konten yang beredar selama ini, informasi dan segala himbauan yang dibuat serta disebarkan baik oleh pemerintah kita maupun berbagai praktisi terkait sudah sangat banyak bahkan berlebih. Dari segi kekayaan informasinya serta variasi cara penyampaian maupun sudut pandangnya pun sangat beragam. Sehingga sedikit sekali aspek dan fakta terkait Covid19 yang terlewat dibahas oleh mereka mereka.

Segala media pun digunakan oleh teman teman kita itu dengan segala ancaman yang ada. Dari yang sekedar tulisan ringan dalam chat yang mudah di sebar, story Instagram, Infografis, video, podcast, berita, artikel online, berita elektronik hingga tulisan tulisan ilmiah terus menyebarkan fakta fakta yang ada. Hingga, kecil juga ada satu dari kita yang tidak terpapar informasi informasi tersebut.

Permasalahan kemudahan akses dan kemudahan untuk memahami isi dari pesan pesan itu pun menurut saya tidak menjadi masalah yang berarti, karena segala arahan sudah diinformasikan dengan sangat praktis dan mudah sekali dipahami juga dilaksanakan. Dan untuk pertanyan apakah kita kita yang denial segala informasi dan arahan itu orang bodoh. Mungkin saja sih, mungkin kami kami ini terkadang bodoh (atau sering) dan tidak patuh hingga menolak segala fakta yang ada. 🙂

Bukan Mereka Tetapi Kita lah yang seperti ini dan otak kita bekerja seperti ini, menyedihkan si, tapi memang itu adanya

Untuk orang orang yang memang suka berdiam diri di kosan atau rumah biasanya tidaklah susah untuk tetap diam dalam waktu yang lama. Namun untuk beberapa orang diam di rumah akan memberikan tekanan cukup besar. Ada yang tertekan hanya pada psikologisnya biasanya pada orang orang yang aktif di luar (ekstrovet), namun tidak sedikit pula yang tekanan datang bukan hanya pada psikologisnya namun juga akan menghadapi tekanan ekonomi secara kuat bila ia tidak beraktifitas normal.

Ada sebuah gagasan menarik saya temukan dari buku Everything is F*ck karya Mark manson dan buku berjudul Blink: The Power of Thinking Without Thinking karya Malcolm Gladwell. Dalam kedua buku tersebut terdapat sebuah gagasan tentang cara berpikir kita (manusia) yang pada dasarnya dipengaruhi oleh kedua otak kita yang memiliki karakter yang sangat berbeda. Untuk mempermudah kita sebut saja satu otak logis sedangkan otak lainnya adalah otak perasa. Umumnya kita “berpikir” bahwa bahwa otak logislah (sang pemikir) yang menentukan dan berkuasa pada setiap tingkah laku kita. Namun, dari kedua buku tersebut diperlihatkan bahwa pemahaman umum kita tadi tidaklah tepat. Alih alih dikendalikan oleh logika, kita justru dikendalikan oleh otak perasa.

Apakah dikendalikan perasaan menjadikan kita tak ubahnya seperti Monyet? 🙂 menurut saya ada ianya ada juga tidaknya terserah dari bagian mana kita memandang (Photo by Pixabay from Pexels )

Mark Manson menganalogikan bahwa kesadaran diri kita ibarat sebuah mobil dimana sang otak perasa duduk sebagai sopir dan otak pemikir duduk di samping sebagai navigator, tidak peduli seberapa ilmiahnya kita pada akhirnya otak perasa lah yang menyetir mobil kesadaran kita. Otak perasa menghasilkan emosi emosi yang membuat kit bergerak untuk bertindak, dan Otak Pemikir menyarankan dimana tindakan itu harus dilakukan. Kata kuncinya disini adalah menyarankan, karena otak pemikir tidak dapat mengendalikan otak perasa maka ia akan hanya mempengaruhi walaupun terkadang sangat kuat tapi tidak jarang pula sangat lemah karena pada dasarnya otak perasa memiliki karakter yang keras kepala. Jika ada suatu nilai yang ingin ia tuju maka dia akan memperjuangkannya meskipun banyak fakta dan data yang menghadang tujuan mereka itu.

Semua orang memiliki kepentingannya masing masing dan memiliki “suatu nilai” yang ia perjuangkan dan menurut mereka tidak dapat di halangi “hanya” oleh issu Corona dengan berbagai fakta dan data yang ia bawa. “Suatu nilai” inilah yang menjadi fokus utama kita. “Suatu nilai” yang telah lama mereka perjuangkan ini bisa berupa hal hal yang berwujud seperti orang tua, keluarga, teman, uang, makanan hingga nilai nilai tak berwujud (abstrak) seperti rasa bahagia, kekeluargaan, pertemanan, kedamaian, hingga keimanan mereka (yang sifatnya religius).

Melalui gagasan ini, dapat dijelaskan mengapa meskipun data dan fakta keburukan rokok begitu tergambar dengan gamblang, namun tetap saja permintaan akan rokok tetap tinggi. Hal ini dikarenakan pihak pengiklan modern terus mensugesti dan membuat nilai lain dari sebuah rokok dalam produk produk iklannya. Dalam iklan rokok yang tidak menunjukan bagaimana merokok itu tentu akan sering kita temukan simbol simbol yang memberikan kesan pria sejati, macho, jantan, kebebasan dan segala hal yang menurut kita keren lainnya. Tekhnik pemasaran seperti ini digagas oleh Edward Bernays sejak tahun 1928. Alih alih memberikan fakta fakta tentang suatu produk, ia justru melekatkan produk tersebut pada sebuah nilai penting.

Hal serupa saya duga juga yang terjadi pada informasi dan segala arahan terkait Covid19 yang tidak begitu mempengaruhi tindakan beberapa kalangan. Ini terjadi bukan sekedar karena kurangnya fakta dan data yang mereka dapatkan namun lebih pada kurangnya penekanan nilai yang mereka anggap penting. Semisal, dalam beberapa kasus ajakan untuk diam dirumah untuk sebagian orang justru bertabrakan dengan nilai keimanan mereka untuk selalu melakukan ibadah apapun yang terjadi. Bahkan jikalau hal buruk terjadi akan mereka anggap sebagai kebaikan. Ini bukan karena fakta dan data yang tidak mereka dapatkan atau pahami namun nilai yang ditekankan kepada mereka tidaklah sebesar nilai relijius mereka. Begitu pula dalam kasus kasus lainya dimana ajakan terkait kasus Covid19 harus berhadapan dengan nilai lain seperti kekeluargaan, pertemanan, ekonomi, dan nilai lainnya yang teman teman mungkin pernah mendapati berbagai jenisnya. Tentu bila seseorang “merasa” arahan terkait Covid19 yang diberikan itu memiliki nilai tidak setinggi nilai yang sedang mereka perjuangkan maka arahan itu tidak akan mereka turuti dan muncul sebagai tindakan denial seperti yang sudah sering kita temukan bersama.

Untuk menanggulangi permasalahan tersebut dan meningkatkan keefektifan dari informasi Covid19 yang diberikan ada baiknya tidak hanya fakta saja yang ditekankan namun juga perlu adanya penekanan pada nilai nilai penting lainnya seperti kekeluargaan, ekonomi, hingga pada nilai nilai religi. Tidak harus dipertentangkan, namun cukup di sinergikan saja dengan nilai nilai yang ada. Secara teori memang terlihat mudah namun dalam prakteknya saya akui memanglah sebuah hal yang sulit. Tetapi bukan berarti tidak bisa. Nyatanya sudah banyak informasi informasi yang beredar sekarang sudah menyentuh hal hal tersebut, hanya kadang ada yang terlewat saja sehingga masih banyak yang denial.

Salah satu cara penyampaian pesan yang saya sukai adalah berita berita maupun gambar dokter yang sedang berjuang untuk “Nilai kemanusiaan”. Masih banyak kampanye lain yang entah dirancang khusus atau secara tidak sengaja menekankan pada sebuah nilai kekeluargaan dan nilai nilai lain yang merangsang otak perasa kita. Namun tidak sedikit pula kampanye dan informasi yang disampaikan hanya menyampaikan fakta fakta hambar tanpa penekanan pada makna yang jelas. Penekanan pada nilai yang merangsang rasa empati otak perasa kita menjadi lebih penting ketimbang hanya memberikan alasan alasan logis teoritis saja. Karena nilai nilai inilah yang mampu memberikan efek gerakan.

Itu saja sih yang ingin saya diskusikan dalam tulisan ini. Merangkum dari kesemua bahasan yang saya berikan panjang lebar sebelumnya. Arahan, Infromasi atau apapun itu yang bertujuan pada suatu pergerakan ntah itu pergerakan untuk membeli barang atau dalam kasus ini berupa pergerakan untuk melakukan dan taat terhadap arahan yang diberikan pemerintah. Fakta memanglah penting, namun jangan juga melupakan untuk penekanan pada suatu nilai yang merangsang otak perasa kita. Nilai nilai tersebut banyak macamnya dan perlu diurai lebih detail lagi dan disesuaikan dengan kasus yang ada.

Akhir kata saya ingin menyampaikan terimakasih dan penghargaan setinggi tingginya pada para pahlawan kemanusiaan yang kita miliki sekarang. Mereka yang digaris depan seperti petugas kesehatan dokter maupun perawat dan tenaga medis lainnya hingga para petugas dan praktisi dibelakang mereka, bagian data, administrasi, manajemeb kedaruratan dan segala pihak yang terlibat bukanlah manusia super yang kebal dengan segala hal, mereka juga takut. Mereka mengorbankan waktu tenaga bahkan kesehan mereka demi orang lain (salut saya buat temen temen disana).

Feature Photo by cottonbro from Pexels

dewaputuam
WRITTEN BY

dewaputuam

I'm a Disaster Analyst, Agro-Climatologist, and GIS Analyst. I like drawing, writing, playing guitar, gardening, and maybe reading too.

Leave a Reply

Total
0
Share

Discover more from Dewa Putu AM

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading