
Saya ingin berdiskusi sedikit tentang apa yang mengganggu dan meresahkan pikiran saya dalam satu bulan terakhir ini. Teman-teman tentu mengikuti atau paling tidak sudah pernah mendengar bahwa saat ini terjadi suatu tragedi kemanusiaan yang bisa dikatakan sangat besar dan menyedihkan sedang berkembang di Wilayah China daratan serta puluhan negara di sekiarnya. Ini tentang Covid19, yang hingga data terakhir yang saya dapatkan (15 Februari 2020 dari data yang ditampilkan pada dasboard milik Johns Hopkins CSSE) jumlah korban meninggal sudah mencapai 1527 dari 67,091 kasus yang terkonfirmasi.
Itu bukanlah angka yang sedikit, dan yang paling menyedihkan itu bukanlah hanya sekedar angka. Itu semua nyawa manusia, entitas yang sama dengan orang-orang di sekitar kita, entitas yang sama dengan orang-orang yang kita sayang, dan tentunya entitas yang sama pula dengan yang selalu kita temukan saat kita memandang cermin. Yup itu jumlah manusia seperti kita, punya keluarga yang menyayangi mereka dan juga ada teman dan keluarga yang mereka sayangi. Itu sama sekali bukan hanya sebuah angka statistik belaka.
Dehumanisasi?, Ini bukanlah isu yang baru saja ada dan hanya pada saat Covid19, Namun isu ini sudah lama sekali ada, bahkan juga digunakan saat perang berkecamuk. Namun sekarang bukanlah perang.

Dengan tidak mengurangi rasa duka dan simpati kepada para penderita serta para korban meninggal dunia akbat virus ini, saya rasa kita perlu membahas dan mendiskusikan bagaimana cara kita menyikapinya. Sangatlah mungkin bila kita (termasuk saya) sering sekali belum dapat menyikapinya dengan baik sisi kemanusiaan ini dengan sempurna dan sering pula kita terpeleset kemudian terjebak oleh dehumanisasi. Orang yang sudah terperangkap jerat dehumanisasi terkadang jelas terlihat, namun terkadang senyap tak terdeteksi oleh sensor apapun. Persebarannya bahkan jauh lebih cepat dari Covid19. Manusia yang sudah terlanjur terkikis kemanusiaannya, akan sulit bisa dianggap manusia secara utuh lagi. Merka yang seperti itu tak ubahnya seperti zombie. Meski masih berwujud manusia tetapi kehilangan esensi dari manusia itu sendiri.
Ini bukanlah isu yang baru saja muncul, dehumanisasi seringkali muncul dalam bentuk dan wujud yang beraneka ragam. Dari hal yang sesederhana “Itu bukan urusanku karena mereka bukan keluargaku” hingga pada wujud yang sulit terbayangkan bahkan menjatuhkan yang sudah jatuh “Ini hukuman Tuhan untuk mereka, karena telah berlaku begitu selama ini”. Mungkin kedua kasus itu masuk diakal sehat teman teman, mungkin saja tidak. Kenapa saya bilang bregitu, coba teman-teman lihat ketiga video ini (Bukan Covid19_1, Bukan Covid19_2, Bukan Covid19_3). Bagaimana pendapat kalian tentang ketiga video diatas. Kita tidak dapat mendebat dengan semua itu. Saya hanya ingin sedikit menunjukan bahawa kita juga tidak sesuci itu, kita sangat mungkin sama seperti orang orang yang sebelumnya saya sebutkan. Sangat mungkin kalau kita juga sebenarnya sedang terpeleset dan terjerembak dalam jurang dehumanisasi.
Kita menjadi Zombie bukan karena kita tergigit oleh zombie ataupun terserang virus. Tetapi kita sendiri yang secara suka rela memilih untuk menjadi zombie

Pada dasarnya dehumanisasi dapat kita artikan sebagai “penghilangan harkat manusia atau tindakan menyangkal kemanusiaan terhadap manusia lainnya.” (Sumber) . Konsep Dehumanisasi yang ingin saya bahas pada tulisan ini adalah sebuah konsep yang saya baca dari sebuah buku karya Paul Scharre yang berjudul Army of None (pernah saya review dalam tautan ini). Yang menarik dari buku tersebut, sang penulis menjabarkan dengan gamblang jalur-jalur yang dapat mendehumanisasi kita baik digunakan secara sengaja ‘terencana’ seperti yang biasa digunakan tentara saat perang, digunakan para teroris meradikalisasikan para pengikutnya dan Juga dehumanisasi yang “tanpa disengaja” mendekap kita tanpa kita ketahui baik melalui karya seni ataupun entitas-entitas lainnya. Dalam bukunya, Paul Scharre setidaknya menjabarkan ada lima cara/jalan untuk mendehumanisasi seseorang.
- Pertama, mengkondisikan lingkungan psikologis seseorang dengan berbagai cara seperti salah satunya adalah memaparkannya pada informasi dan situasi situasi ekstrim. Contoh saat bencana, saat kita sama sama menjadi korban dan sangat membutuhkan bantuan akan “sulit” bagi kita untuk sekedar membantu. Saya bilang sulit bukan berati tidak ada, karena dalam beberapa kasus ada orang hebat di luar sana yang tetap membantu tanpa memikirkan dirinya sendiri. Hal ini sebenarnya mengingatkan saya pada tiga video yang saya bagikan sebelumnya, tapi yasudah lah ya.
- Kedua adalah memberikan tekanan berdasarkan kekuasaan, baik dengan fisik langsung maupun tindakan tindakan yang menyebabkan seseorang tidak berdaya untuk menolak. Hal ini tampaknya sudah jelas, dehumanisasi dapat terjadi karena ada suatu kekuatan besar yang mengintimidasi di belakang mereka baik itu manusia lain, organisasi atau bahkan yang lebih besar lagi. Hal ini juga yang membuat saya kurang begitu suka dengan pendekatan dan pembelajaran keagamaan dengan menekankan ketakutan akan sosok Pencipta bukannya Kemaha Pengasihannya itu sendiri.
- Cara ketiga adalah mendifusikan tanggung jawab dengan cara pembagian tugas yang guyub dan rumit sehingga mengaburkan fakta terkait siapa yang bertanggung jawab sebenarnya. Pembagian tugas memanglah baik namun saat rantai tugas dan kewenangan menjadi terlalu panjang maka terkadang kita tidak sadar yang kita hadapi tidak lain dan tidak bukan adalah nyawa manusia.
- Cara keempat adalah dehumanisasi manusia lain dengan mengikis sisi humanisnya baik secara langsung maupun dengan narasi yang berputar yang memberikan sisi jahat, hewan dan tidak manusiawinya sosok atau kelompok tersebut, dengan kata laian mereka digambarkan jauh dari sisi manusia. Cara lainnya adalah menggantikan target manusia lain itu menjadi objek-objek fisik atau abstrak lainnya seperti bangunan, ras, bangsa dan lainya yang kemudian secara tidak langsung juga memberikan dampak pada manusia yang telah dilekatkan oleh analogi tersebut. Kedua dehumanisasi dengan mengidentifikasikan entitas manusia sebagai sosok bukan manusia ini pasti sering teman teman temukan, dari pengaburan sisi kemanusiaan secara tidak sengaja dengan menganalogikan nyawa manusia hanya dalam sebuah catatan statistik belaka, ras atau bangsa lalim hingga pada penggambaran sosok manusia itu sebagai kejahatan yang tidak termaaafkan hingga layak disebut setan atau apapun itu (silahkan teman2 lihat dalam kolom komentar ketiga video yang saya bagikan sebelumnya).
- Cara kelima dan terakhir adalah membuat suatu jarak fisik dan psikologis antara seseorang dengan manusia lainnya hingga kemudian juga dapat memberikan efek dehumanisasi. Hal ini dapat dilakukan dengan cara meningkatkan jarak fisik dan juga memisahkan kemudian meningkatkan perbedaan perbedaan antara manusia di kelompok mereka dan ‘manusia lain’ di kelompok lain yang berseberangan sehingga muncul penggolongan yang ekstrim. Hal ini yang kemudian membuat kita terkadang berpikir “Di sana kan jauh ya, untuk apa kita memikirkan mereka, toh mereka juga bukan keluarga kita dan tidak kenal juga dengan kita. Jadi tidak lah perlu bersusah payah memikirkan mereka”.
Banyak juga ya ternyata cara kita tereleset pada lubang dehumanisasi. Jika kita baca, sepertinya memang terlihat sangat jelas bagaimana proses dehumanisasi itu. Namun sayangnya dalam keseharian kita, jarang sekali lubang lubang itu terlihat dengan jelas dan menjadikannya sulit dihindari. Terlebih lagi mungkinlah kelima cara dehumanisasi itu tidak berdiri sendiri-sendiri melainkan terkombinasi menjadi suatu permasalahan yang samar dan sulit untuk kita tebak kemana arahnya.
Itu saja sih hal yang ingin saya bagikan dalam tulisan ini. Semoga tulisan ini sedikit menyadarkan kita termasuk pengingat bagi saya akan adanya musuh sejati yang besar bagi kita semua. Musuh yang sangat dekat bahkan lebih dekat dari rambut di atas dahi kita. Musuh yang merusak kerja otak kita dan mengarahkan kita menuju kegelapan, menjadikan kita sosok yang menyerupai Zombie yang jauh dari sisi humanis. Jika itu terus berlanjut dan tidak ditanggulangi mungkin manusia akan musnah dan digantikan oleh sosok sosok yang tidak ingin kita kenal lagi bahkan malu untuk diakui pernah menjadi manusia sebelumnya.
Zombie Apocalypse bukan disebabkan oleh T Virus, Flaka, Covid19 atau apapun itu. Zombie Apocalypse justru datang lebih senyap dari itu semua, menyebar dari pikiran seseorang kepikiran orang lainnya tanpa perantara dan vektor yang nyata. Namun persebarannya jauh lebih cepat dan mengerikan dari yang pernah kita duga sebelumnya hingga saat kita membaca tulisan ini pun sangat mungkin kalau kita sudah sedikit terjangkit oleh fenomena itu. —-> Play me
Salam
Dewa Putu AM
Pada dasarnya tulisan ini sudah selesai sampai di sini, silahkan teman teman skip jika memang ingin skip, namun saya ingin menambahkan sedikit saja.
Saya pada awalnya ingin menunjukan hal ini pada postingan saya sekarang. Namun Issue dehumanisasi tampaknya lebih penting dan lebih dapat kita tanggulangi ketimbang permasalahan Covid19 sehingga saya pada postingan utama hanya membahas terkait dehumanisasi tersebut. Saya dalam beberapa hari ini tertarik dengan analisis dan visualisasi data. Namun apa yang saya dapatkan ketika mengelola data tersebut serem sih. Seuma orang mungkin tahu bahwa persebaran Covid19 termasuk sangat cepat. Dari sini kemudian saya mencoba melakukan analisis sederhana untuk melihat akan seperti apa eskalasi Covid19 kedepannya. Saya harap perkiraan ini salah, namun bila tidak ditanggulangi secara cepat dan baik dan kecepatan pertambahannya tetap seperti ini kasus Covid19 akan semakin besar dan berlipat ganda pada akhir bulan Februari atau Awal Bulan Maret. Kalian dapat melihat analisis tersebut pada dasboard yang saya susun dalam tautan ini.
Namun seperti yang saya bahas pada postingan utama saya, yang bisa kita lakukan selain lebih menjaga kesehatan kita dengan berbagai cara yang sudah dianjurkan berbagai istitusi pemerintah, kita juga tidak perlu panik. Namun perlu diingat, yang sekarang menderita di sana samalah seperti kita, terlepas dari persepsi apapun teman-teman kepada mereka janganlan mengaburkan fakta bahwa mereka juga manusia.
Dan kemudian untuk kasus pemulangan (ex WNI yang tergabung ISIS) saya tidak dapat berdiskusi banyak. Saya pun tidak begitu setuju jikalau nanti ada niatan pemulangan mereka begitu saja. Namun perlu diingat perlakuan yang seperti itu tidak begitu berbeda dengan “identitas kejam dan berbahaya” yang kita sematkan pada mereka. Apakah kini kita sama saja dengan mereka? lalu bagaimana kita seharusnya bersikap? Sayapun tidak tahu, biarkan waktu yang menjawab ini semua.
Sudahlah
Leave a Reply