Ini bukanlah isu yang menarik untuk sebagian orang, bukan pula isu yang penting juga. Ini hanyalah isu lingkungan, isu yang hanya diagungkan oleh sedikit orang yang berteriak teriak selamatkan alam, selamatkan bumi yang begitu klise dan abstrak isu perubahan iklim. Isu ini tidaklah semeriah pesta politik pemilihan presiden, tak semeriah aksi KPK, bahkan tak semeriah peristiwa menyedihkan Pembullian “Satu Orang” Audrey. Yah tidak apa, issu ini memanglah tidak penting.
Sebagai paragraf pembuka, sepertinya agak berlebihan ya, tapi itulah yang saya lihat dari kita saat ini. Saya katakan kita di sini karena ini bukanlah terjadi pada orang lain namun juga terjadi pada saya dan mungkin juga teman teman yang sedang membaca tulisan saya ini. Kitalah yang secara tidak langsung telah membiarkan mereka terbunuh secara perlahan. Yups secara perlahan karena budaya konsumsi kita yang begitu barbar akan produk produk berbasis minyak sawit untuk di Indonesia. Dan juga budaya tidak peduli kita yang orang sekarang bilang “Santuy”. Ini yang menurut saya paling berbahaya. Dalam kasus kebakaran hutan yang kemudian berdampak pada bencana kabut asap, bukan karena semakin banyak orang jahat yang membakar lah yang membuat semua ini semakin parah, namun karena semakin banyak orang baik yang tidak peduli.
Bukan karena semakin banyak orang jahat yang membakar lah yang membuat semua ini semakin parah, namun karena semakin banyak orang baik yang tidak peduli.
(Tukang Daging Orang Utan Asap, 2019)
Keledai pun Tidak Pernah Jatuh di Lubang yang Sama, Namun Kenapa Kita Hobi Sekali Pesta Asap Seperti Ini?
Issu kebakaran hutan dan lahan bukanlah isu yang baru-baru ini muncul. Sudah berkali-kali terjadi dan bahkan sudah menjadi trend. Saat kemarau terjadi pasti ada saja kebakaran hutan dan lahan dengan lokasi di provinsi provinsi itu saja seolah mereka memang sudah berlangganan setiap tahunnya Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur. Ketuju provinsi itulah yang sering mengalami kebakaran hutan dan lahan. Untuk Provinsi kadang juga ikut-ikutan nyebat mengasap.
Keledai pun tidak pernah jatuh dilubang yang sama. Itu kata pepatah, setidaknya kebakaran hutan pun tidak akan dilokasi yang sama. Saat tahun lalu terbakar maka kecil kemungkinan akan terbakar lagi di tahun ini malahan sudah menghijau dengan tumbuhan berpola bentuk bintang berbaris rapi akan terlihat dari foto angkasa, yang terbakar mungkin hutan disebelahnya yang terbakar lagi kemudian. Kembali ke pada pepatah keledai yang tidak jatuh di lubang yang sama, mungkin akan muncul pertanyaan kenapa kebakaran hutan masih saja terjadi.
Meskipun memang ada kebakaran hutan yang diakibatkan oleh proses alami, namun lebih dari 90%nya melibatkan manusia dan disengaja untuk dibakar. Saya rasa frasa “kebakaran hutan dan lahan” akan lebih tepat disebut sebagai “pembakaran hutan dan lahan” karena ada unsur kesengajaan di sana. Membakar adalah metode termurah dan tercepat dalam membongkar hutan untuk dijadikan lahan. Hanya bermodalkan pemantik api dan sedikit bahan bakar kita sudah dapat membuka dan membersihkan hutan berhektar hektar. Coba dibandingkan dengan harga penyewaan alat berat butuh berapa banyak uang dan berapa lama? Terkait hal ini ada suatu quotes bagus dari si Bung.
Masalahnya bukan terbakar, tapi dibakar. Ada perbedaan antara ketidaksengajaan, dengan kesengajaan. Hitung segala keuntungan, apa sebanding dengan paru paru yang mesti dikorbankan?
(Fiersa Besari, 2019)
Kebakaran Hutan Bukan Sekedar Kasus Perusakan Lingkungan, Ini Adalah Kasus Pembunuhan Bahkan Sudah Dapat Digolongkan Sebagai Genosida
Metode dehumanisasi kasus kebakaran hutan yang hanya sekedar pada kasus perusakan lingkungan, salah satu sumber karbon terbesar yang memicu perubahan iklim, ataupun sekedar trans boundary haze dan berbagai issu lainnya seringkali mengkaburkan, mengalihkan dan menjauhkan kita pada sesuatu yang lebih penting dan seharusnya menjadi fokus utama kita “Kemanusiaan”. Dehumanisasi halus yang mengkaburkan isu kemanusiaan dengan hal hal yang sekedar dekat dengan manusia atau bahkan jauh dari kemanusiaan mengikis dan menghilangkan empati kita sehingga tidak jarang kita tidak begitu peduli dengan apa yang terjadi saat ini dan hanya berpikiran bahwa issu yang sekarang terjadi sekedar hutan yang terbakar saja. Sedangkan issu issu kemanusiaan yang menjadi korban beberapa hanya sekedar menjadi pemanis.
Kebakaran hutan bukan sekedar kasus perusakan lingkungan, ini adalah kasus pembunuhan bahkan sudah dapat digolongkan sebagai genosida. Ini adalah kasus pembunuhan secara masal, tidak hanya pada keanekaragaman hayati yang dibakar namun pada masyarakat sekitar. Partikel partikel asap kebakaran yang berukuran sangat kecil <10 mikron (PM10) dapat masuk kedalam paru paru dan menimbulkan berbagai penyakit pernapasan, untuk beberapa orang yang sehat dalam rentang konsentrasi tertentu masih dapat bertahan namun untuk orang orang tertentu hal ini dapat berdampak pada kematian.
Sebagai sedikit gambaran, ijinkan saya untuk sedikit menjauh dari sisi manusia dan beralih pada karbon yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan yang terjadi akhir akhir ini. Namun ada satu yang perlu diingat, parameter fisik inijuga lah yang kemudian berdampak baik secara langsung ataupun tidak langsung pada penduduk setempat. Di bawah ini adalah suatu model sebaran CO yang saya sisipkan dari aplikasi windy. Dalam peta ini dapat terlihat bahwa kadar CO diwilayah wilayah terdampak bencana kabut asap seperti Riau, Jambi dan Kalimantan konsentrasinya sangat tinggi.
Kondisi yang demikian ini berimplikasi pada semakin berbahaya wilayah tersebut terhadap kesehatan penapasan teman teman bahkan saudara kita di sana. Hal ini bukanlah yang pertama, entah berapa kali mereka sudah merasakannya setiap tahun selalu seperti ini. Hidup dalam kepungan asap sangatlah berat, kita tidak bisa berlari untuk menghindar. Kemanapun kita pergi semua akan sama di luar rumah, di dalam rumah semua masih menyesakkan dada kita. Tidak hanya itu mata pun pedih jika berlama lama ditempat seperti itu.
Tahun 2015 lalu saya pernah merasakannya sesaat (hanya beberapa hari) itu sudah sangat tidak nyaman bagi saya apalagi bagi mereka yang mengalami hal tersebut dalam jangka waktu yang sangat lama. Saya tidak bisa lagi membayangkan sebesar apalagi ketidak nyamanan mereka.
Mereka mungkinlah memang kuat, tapi apakah memang sekuat itu. Harus sampai kapan lagi mereka merasakan pekatnya asap? Apa yang bisa kita lakukan? tidak adakah? Haruskah kita biarkan saja mereka terbunuh perlahan karena itu? Jawaban ada dalam hati kita masing masing. Dan sya yakin teman teman juga sepakat bahwa jawaban itupun tidak dibutuhkan. Yang mereka butuhkan dari kita hanya tindakan nyata dari kita. Untuk mereka, agar mereka dapat terhindar dari “Asap” A.S.A.P. (As Soon As Posible).
Baru tahun lalu di Palembang bebas asap saat musim kemarau, ternyata tahun ini kembali lagi musim tambahan itu “musim asap” dan makin parah. Sekarang mikirin orang tua harus menghirup asap aja aku sesak, kebenaran satunya lagi, yaa aku belum bisa berbuat banyak.
Ia mba, taun lalu kebetulan saya juga lagi tugas disana dan tidak separah sekarang si.
semoga segera tertangani ya untuk wilayah Palembang dan wilayah lainnya,..