Halo, semua bagaimana kabar teman semua. Pada tulisan ini saya ingin mencoba membagikan sedikit keresahan saya yang tetiba karena beberapa kejadian rasanya saya perlu membagikan dalam tulisan dalam blog saya satu ini. Selain berbagi keresahan, melalui tulisan ini saya juga ingin mengingatkan teman teman saya sekaligus diri saya sendiri, yups ini peringatan untuk kita bersama kawan.
Frasa yang yang ingin saya bahas kali ini sudah menghantui pikiran saya dalam beberapa bulan ini. Bahkan di beberapa kesempatan diskusi, frasa ini juga terkadang muncul yang biasanya dikorelasikan pada pola interaksi kita dengan orang lain dari kenalan hingga seseorang yang kita panggil sebagai teman. Frasa ini paling sering kali didiskusikan bersamaan dengan pola kepemimpinan seseorang.
Frasa “Nguwongke Wong” merupakan salah satu filosofi orang jawa yang bermakna memanusiakan manusia. Nguwongke merujuk pada sikap menghargai sesama manusia sebagai makhluk hidup yang memiliki perasaan dan pikiran, sesuai fungsi dan perannya.
Ini Berawal Tentang Cara Kita Memandang
Seringkali kita menganggap apa yang kita lihat di depan kita adalah satu satunya fakta dan kebenaran. namun sayangnya tidak jarang mata kita pun gagal menyampaikan apa yang sebenarnya terjadi di depan kita. Mata kita seringkali terkelabui oleh persepsi kita sehingga tanpa kita sadari mengaburkan apa yang seharusnya kita lihat.
Pandangan yang Nguwongke Wong berarti menempatkan manusia yang sedang kita pandang selayaknya seorang manusia secara utuh. Terlepas dari posisi dia saat berinteraksi dengan kita apakah ia seorang guru yang kita panuti, teman teman yang sudah lama tidak berjumpa, penyeduh kopi di sebuah kafe yang sedang kita kunjungi, pencuci piring, supir angkot, buruh, pembantu rumah tangga atau bahkan posisi lainnya.
Sulit untuk menyangkal bahwa kita sering kali kita memandang seseorang berbeda tergantung posisi orang itu terhadap kita. Kita biasanya akan cenderung segan dan menunduk saat bertemu dengan atasan atau setidaknya pada orang orang yang kita anggap di posisi lebih tinggi dari kita baik umur, jabatan profesional, di masyarakat maupun konteks lainnya.
Di lain pihak, tidak jarang juga kita (termasuk saya) tanpa sadar memandang rendah orang lain yang kita anggap sedang posisi atau dalam situasi di bawah kita baik karena umurnya yang memang lebih muda, punya jabatan profesional dibawah kita, punya tingkat pendidikan ataupun konteks lainnya seperti pelayan yang secara “situasi” sedang melayani kita di toko yang kita kunjungi ataupun lainnya.
Lalu yang menjadi pertanyaan pada diri kita masing-masing apakah kita memandang orang “di atas” kita ataupun “di bawah” kita itu dengan selayaknya kita memandang manusia, sama seperti kita. Dengan tidak berlebihan merendahkan orang yang secara posisi dan situasi sedang bawah kita contohnya kita memandang orang yang lebih muda ataupun orang orang yang sedang melayani kita.
Juga tentunya tidak pula meninggikan secara berlebihan pada seseorang yang posisinya di atas kita hingga cenderung mengagung-agungkan bagaikan manusia setengah dewa contohnya pada artis yang kita sangat kagumi, atau pada boss kita di kantor.
Diawali dengan cara kita memandang ini yang kemudian membentuk kerangka berpikir kita. Kerangka berpikir yang tidak hanya menempatkan posisi orang yang sedang kita lihat terhadap kita namun juga memposisikan posisi diri kita terhadap mereka.
Cara melihat yang Nguwongke Wong mengajak kita untuk melihat orang lain setara dengan kita tidak jauh lebih rendah tidak pula jauh lebih tinggi. Dengan kata lain ini terkait sudut pandang kita yang selayaknya kita berikan kepada manusia lain seperti kita yang tidak merendahkan dan juga tidak meninggikan.
Lalu Berlanjut Pada Kata Yang Kita Ucap
Cara kita memandang, saya rasa merupakan konsep yang cukup abstrak untuk dapat saya pahami dan jelaskan. Hal ini dikarenakan bagaimana kita memandang biasanya berlangsung secara tanpa kita sadari. Atau dengan kata lain kita sangat jarang sekali dapat secara sadar mengkondisikan cara kita memandang orang lain. Hal ini berkaitan dengan berkaitan dengan pikiran di alam bawah sadar kita yang tentunya dilatih dari kebiasaan kebiasaan yang ditanamkan berulang pada kita dari kecil. Oleh karena itu pendidikan sedari dini sangat berperan dalam pembentukan pola memandang kita ini.
Berbeda dengan cara kita memandang, cara kita berbicara pada orang lain lebih dapat kita kendalikan. Yah meskipun perlu kita akui juga tidak di setiap kesempatan kita mampu mengendalikannya contohnya pada saat saat tertentu dimana sumpah serapah pun akhirnya secara otomatis terucap dari mulut kita. Seperti kebanyakan orang lainnya dalam beberapa kesempatan ternyata saya pun sering kali mengalami silap lidah dan mengakibatkan kata-kata yang tidak semestinya ada terucap begitu saja dan saya yakin bisa saja bertendensi merendahkan orang atau bahkan melukai hati orang yang mendengar.
Saya akui sering kali saya melakukan kesalahan ini, bahkan dalam beberapa kesempatan saya juga ditegur oleh teman saya yang melihat saya dalam versi yang sangat berbeda dari biasanya. Teman saya pernah berujar bahwa saya seperti menjadi pribadi yang sangat berbeda dan sangat dingin. Jika diingat ingat muncul seperti itu sering terjadi saat saya dalam kondisi capek dan lapar hehehe. Tetapi saya akui itu adalah hal yang salah. Namun pelajaran yang saya petik di sini ada suatu kondisi yang menyebabkan terkadang lebih mudah bagi kita untuk bersikap merendahkan orang atau tidak Nguwongke Wong.
Nguwongke Wong dalam perkataan ini tentunya tidak hanya berada pada tataran yang sempit sebatas di pemilihan kata “apa” atau diksi pada setiap komunikasi kita pada orang lain. Seperti pemilihan kata kata yang kasar dan didepan umum, tentunya dalam hal mengkritik akan sangat menyakitkan bila dilakukan di depan umum dengan kata kata negatif seperti “Bodoh” atau kata kata negatif lainnya. Tidak hanya diksi, Nguwongke Wong dalam berbicara juga tercermin pada pemilihan “kapan” kita menyampaikan apa yang kita ingin sampaikan tadi.
Apakah kita menyampaikan dengan menghargai waktu mereka, atau kita justru menganggap remeh waktu mereka dengan menghubungi pada waktu yang tidak tepat seperti tengah malam atau waktu liburan untuk berbincang terkait kerjaan yang tidak begitu urgen tanpa menghargai waktu mereka istirahat. Contoh lainnya adalah kebiasaan menyepelekan waktu orang lain dengan menunda-nunda urusan penting seseorang namun menurut kita tidak begitu penting.
Selain pemilihan waktu berbicara, kita juga harus memperhatikan “bagaimana” cara kita berbicara. Gestur apa yang kita gunakan apakah merupakan gestur yang menghargai lawan bicara kita atau justru malah merendahkan lawan bicara.
Ini juga berlaku saat kita berurusan dengan orang yang kita anggap di atas kita. Yang semestinya kita perhatikan bersama apakah pemilihan kata apa, kapan dan bagaimana kita sampaikan sudah Nguwongke Wong atau justru kita terlalu melebih lebihkan jangan sampai saat kita terlalu meninggikan orang tersebut justru kita yang tidak Nguwongke Wong untuk diri kita sendiri. Yup, kita pun peru di Wong kan, setara dengan orang orang lain yang kita Wong kan.
Dan Diakhiri Pada Cara Kita Berlaku dan Bertindak
Dari cara kita memandang membentuk persepsi kita terhadap orang lain sehingga kita dapat menentukan cara kita berkomunikasi dengan baik dengan orang tersebut. Halk terakhir dalam topik ini adalah hal yang lebih luas lagi yakni “Cara Kita Berlaku dan Bertindak”
Untuk membahas terkait cara kita berlaku dan bertindak yang tidak Nguwongke Wong, ijinkan saya untuk merujuk salah satu buku yang menurut saya sangat bagus.
Dalam buku Army of None karya Paul Scarre, ada beberapa hal yang seringkali membuat kita silap dalam memanusiakan manusia atau Nguwongke Wong. Dalam buku tersebut disebut dengan istilah dehumanisasi. Beberapa gagasan tersebut sempat saya tuliskan dalam tulisan saya di sini.
Secara ringkas Ada beberapa poin tentang alasan kita terkadang lupa dengan konsep Nguwongke Wong.
- Pertama adalah perasaan tertekan kita dalam “situasi ekstrim” sehingga mengkondisikan psikologis kita dengan berbagai cara akhirnya kita pun membenarkan apa yang kita lakukan. Kondisi yang kita anggap ekstrim ini bisa saja adalah situasi sesungguhnya ataupun situasi yang hanya ada dalam pikiran kita.
- Kedua adalah situasi ketika kita diberikan tekanan berdasarkan kekuasaan, baik dengan fisik langsung maupun tindakan tindakan yang menyebabkan kita tidak berdaya untuk menolak. Dan akhirnya kita pun bertindak semena mena kepada orang di bawah kita atau tunduk berlebihan dengan kekuasaan tersebut.
- Ketiga adalah suatu situasi yang mendifusikan tanggung jawab dengan cara pembagian tugas yang guyub dan rumit sehingga mengaburkan fakta terkait siapa yang bertanggung jawab sebenarnya. Hal inilah yang kemudian kita ada rasa superior atau sebaliknya inferior sehingga merasa memiliki otoritas untuk melakukan hal hal yang tidak memanusiakan manusia ataupun saking merasa inferiornya dalam sistem tersebut sehingga merasa layak untuk tidak dimanusiakan.
- Keempat adalah tidak Nguwongke wong dalam kondisi yang ekstrim misalkan musuh dengan mengikis sisi humanisnya baik secara langsung maupun dengan narasi yang berputar yang memberikan sisi jahat, hewan dan tidak manusiawinya musuh tersebut dan jauh dari sisi manusia. Atau dengan menggantikan target manusia pada musuh menjadi target target fisik lainnya seperti bangunan dll yang kemudian secara tidak langsung juga memberikan dampak pada musuh. Inilah yang kemudian berubah menjadi aksi aksi brutal yang tidak manusiawi dengan menghancurkan, membakar dan melakukan hal hal keji lainnya.
- Kelima adalah kita terjebak dalam situasi yang membuat suatu jarak fisik dan psikologis antara kita dan orang lain hingga kemudian juga dapat memberikan efek untuk tidak memanusiakan manusia. Hal ini dapat terjadi dikarenakan dengan cara meningkatkan jarak fisik dan juga memisahkan dan meningkatkan perbedaan perbedaan antara kita dan orang lain sehingga muncul penggolongan yang ekstrim.
Saya rasa sampai ini saja dulu saja diskusi kita tentang Nguwongke Wong, meskipun masih banyak sekali hal yang dapat kita ulas bersama bahkan saking banyak dan panjangnya mungkin akan menjadi sebuah buku tebal. Namun saya tidak mau hal itu terjadi, saya menghargai waktu teman teman semua yang menyempatkan untuk membaca tulisan saya kali ini, dan saya juga mencoba menghargai waktu saya untuk melakukan hal yang lain hehehe. Oh ia bisa saja dari sekian banyak gagasan yang saya tulis, ada beberapa atau justru ada sangat banyak gagasan yang melenceng dan tidak sesuai dengan pandangan teman teman. Tetapi sebagai manusia saya memang harus mengakui itu sebagai kesalahan saya dan untuk itu saya mohon maaf. Bila mana ada kesediaan waktu teman teman silahkan kita berdiskusi bersama tentang hal ini di kolom komentar yang saya sediakan.
Salam hangat dari saya
Seorang manusia yang sedang belajar
Dewa Putu A.M.