
Selama ini dalam pelajaran bahasa atau sastra, kita beberapa kali bertemu dengan sebuah pepatah yang cukup terkenal dan rasa-rasanya hampir semua orang yang pernah belajar di Indonesia mengenal pepatah tersebut. Ini tentang pepatah rakit yang tidak diketahui siapa penciptanya dan kita tidak tahu pula siapa penciptanya. Pepatah tersebut berbunyi seperti ini.
“Berakit rakit kehulu, berenang ketepian”
Seingat saya semua guru dan atau orang tua maupun orang lain yang dulu pernah mengajarkan saya menyebutkan pepatah tersebut memiliki makna bahwa [highlight]kita perlu “bersakit sakit dahulu, untuk dapat bersenang senang kemudian”.[/highlight] Pepatah dan maknanya ini tentu saja dapat diterima, dan merupakan sebuah pesan yang sangat baik bagi semua orang termasuk untuk saya, “mungkin”. Meskipun terkadang saya suka mengelak saat diberikan pepatah tersebut oleh ibu saya dan mengatakan bahwa saya lebih suka naik rakit sambil berenang renang.
Pada tulisan saat ini saya ingin membahas makna lapis kedua dalam pepatah rakit. Saat memikirkan hal ini saya sangat terkesima dengan pembuat pepatah yang sangat keren ini, saya juga merasa ini bukanlah kebetulan bila seorang penulis (atau seorang sastrawan) menyelipkan berlapis makna dalam sebuah karyanya. Lapis-lapisan makna itupun ia rangkaikan dan dengan cerdik ia sembunyikan tipis tipis melekat pada satu sudut pandang tertentu. Lapis-lapisan makna ini biasanya juga dikaburkan oleh lapisan makna tersurat yang dapat dilihat dengan jelas oleh orang orang bisa tanpa banyak berpikir dan menganalisa lebih dalam.
Seperti pada pepatah rakit. Kebanyakan orang akan mengangguk ngangguk jika pepatah tersebut sekedar diartikan berdasarkan kesamaan buny pada akhirannya. Saya lupa istilahnya ini apa, tapi secara umum demikian “Rakit rakit” digunakan untuk menggantikan frasa “sakit sakit”, “ke hulu” digunakan untuk menggantikan frasa “dahulu”, kemudian frasa “berenang-renang” untuk mengungkapkan “bersenang-senang” sedangkan ” ketepian” digunakan untuk menggantikan kata “kemudian”. Jika dibaca secara utuh, pepatah “berakit rakit kehulu, berenang ketepian” akan bermakna “bersakit sakit dahulu, bersenang senang kemudian”. kira kira sesederhana itu cara merakit makna lapis pertama pada pepatah rakit.
[highlight]Merakit Alur Berpikir Frasa “Berakit-rakit ke Hulu”[/highlight]
Ada satu pertanyaan sekaligus tantangan buat teman-teman pembaca sebelum kita coba merangkai logika untuk mendapatkan makna lapis kedua pada pepatah rakit. Pertanyaan dan tantangan ini menurut saya sangat simple.
Maukah teman teman dengan usaha kalian sendiri berakit rakit kehulu “secara harafiah”, maukah anda dengan tongkat dan rakit menelusuri sungai menuju kearah hulu. Sekedar informasi tambahan buat teman-teman, berakit kehulu sungai berarti pula kita harus bergerak melawan arus. Percayalah itu tidak mudah ferguso, kita beruntung bila arusnya tidak kuat dan itupun sudah cukup PR, apalagi bila arus sungainya sangat kuat bukan tidak mungkin kalau kita akan maju satu meter dan hanyut puluhan meter. Rakit biasanya didesign untuk bergerak ke hilir, dan kalaupun tidak, ia biasanya didesign untuk menyebrangi sungai saja itupun dibantu dengan tali tambang/kabel agar tidak terbawa arus dan lebih mudah membawa ketepian sungai di sebarangnya. Yang jadi pertanyaan kenapa orang orang dulu membuat pepatah dan menggunakan frasa yang sedikit kurang logis tersebut “berakit rakit kehulu” dan kira kira apa faedahnya menggunakan rakit untuk mencapai hulu?

Dari sini saya rasa kita telah menemukan pintu menuju makna lapis kedua yang dibuat oleh orang orang terdahulu melalui pepatah rakitnya. Kita akan mencoba memaknainya dari sudut pandang realist dan sedikit kritis. Sebelumnya kita mengetahui bahwa berakit-rakit ke hulu adalah hal yang melelahkan dan menyakitkan (saya gantikan agar ada sedikit harapan meskipun hampir pada kenyataan yang tidak mungkin). Meskipun demikian “sakit” bukanlah makna lapis kedua dari penggalan pepatah ini. Menurut saya penggalan pertama ini memiliki makna tentang orang yang sangat ambisius dengan tujuannya yang juga fantastis yaitu “hulu”. Saya berpendapat demikian karena hanya ambisi dan ego yang luar biasa besar yang menyebabkan orang orang begitu gigih dan berusaha mencapai tujuannya tanpa sadar diri tentang seberapa jauh kemampuan yang ia punya yang dalam hal ini hanya sebuah rakit.
Makna pada penggalan ke dua akan muncul saat penggalan pepatah pertama terpenuhi yakni seseorang yang ambisius dan terlalu ngotot baik secara bodoh ataupun cerdas, bedanya cukup tipis. Saya sengaja memasukan kata bodo dan cerdas disini untuk memberikan sedikit ruang dan mengakui kalau sebenarnya ada variasi pada alasan kenapa ada seseorang yang secara random berakit-rakit ke arah hulu. Beberapa kasus ngototnya mungkin ngotot bodo dan tak tahu diri namun beberapa lainnya ngotot karena yakin ia sangat kuat, cerdik dan atau mungkin saja ia sangat paham akan situasi sebenarnya disana. Dalam pepatah ini bukan tidak mungkin kalau orang yang menggunakan rakit sebenarnya memunyai trik trik jitu atau pengalaman berlimpah sehingga bukan tidak mungkin kesemua itu mampu mengantarnya menuju ke hulu sungai. Yah mungkin saja dia sangat kuat, mungkin dia memodifikasi rakitnya, atau mungkin ia paham, yakin dan berpengalaman untuk berakit rakit kearah hulu, atau ia tahu daerah hulu tidaklah terlalu jauh untuk di gapai. Kalau kata orang orang jaman sekarang “Sing penting yakin”.
[highlight]Merakit Alur Berpikir Frasa “Berenang-renang ke Tepian”[/highlight]
Lha, saya malah membahas kemana mana ya. kembali pada penggalan ke dua dalam pepatah ini yakni frasa “berenang renang ketepian”. Secara sederhana sebelumnya penggalan kedua ini biasa diartikan sebagai “bersenang senang kemudian”. Hal ini merupakan makna lapis pertama yang sering kali orang lain berikan. Namun secara logis, bila kita pernah menaiki rakit semacam rakit bambu , maka disana kita lihat bahwa sebenarnya kita tidak perlu berenang untuk mencapai tepian, tentunya ini dalam kondisi normalnya ya. Namun mengapa orang orang dahulu menambahkan frasa berenang renang ketepian setelah frasa berakit rakit dahulu? bukannya ini sangat aneh, lalu bagaimana dengan keadaan rakit yang kita tinggalkan sembari berenang ketepian? dibiarkan hanyut dan kembali dengan sendirinya ke hilir atau malah tenggelam dan hilang ditinggal jaman setelah mengemban tugas yang begitu berat.

Tentu ada suatu hal besar yang menyebabkan kita tidak membawa rakit hingga ke tepi sungai dan merelakan kita untuk berbasah basah dengan berenang hanya untuk menuju tepian. Dari logika ini kita coba rangkai sesuatu cerita tersembunyi dan terkandung didalam frasa ini. Ada dua hipotesis kunci dalam pemahaman frasa pepatah ini yaitu “Ada suatu peristiwa yang tidak kita duga terjadi” dan hipotesis kedua adalah “Kita harus berani terjun langsung dan mau berbasah basahan untuk mencapai tujuan kita yakni tepian atau bahkan sekedar untuk menyelamatkan diri kita bila mana ternyata sesuatu yang terjadi itu berada jauh dari tujuan kita”
Bila kedua hipotesa itu dirangkai maka kita dapatkan suatu makna dalam penggalan kedua dari pepatah rakit. Makna tersebut kira kira sebagai berikut “Kita harus sadar bahwa suatu ketika mungkin saja ada sesuatu hal yang mengharuskan kita bertindak diluar kebiasaan, Saat itu kita harus berani mengambil keputusan. Ketika tujuan sudah dekat kita dapat turun langsung dengan sekuat tenaga menggapainya, namun bila tujuan masih jauh kita juga perlu terjun langsung untuk sekedar menyelamatkan diri agar masih ada waktu esok dan mencobanya lagi.”
Kita sudah mencoba merangkaikan dan menguntai logika yang ada pada pepatah “Berakit rakit kehulu, berenang renang ketepian”. Berdasarkan logika yang panjang lebar coba kita rakit akhirnya sampailah kita pada sebuah makna tersembunyi atau makna lapis kedua dalam pepatah tersebut. Ini adalah sebuah pesan bagi orang orang penentang arus. Orang orang unik dan berani berbeda dari lainnya, orang orang yang mungkin tanghuh atau mungkin saja bodoh.
[highlight]Makna Tersembunyi “Berakit-rakit ke Hulu, Berenang-renang ke Tepian[/highlight]
Menjalani hidup yang menentang arus memang sangat berat, namun bukan berarti tidak mungkin. Kita dapat melakukan segala hal dengan memaksimalkan apa apa saja yang kita miliki baik kekuatan, kecerdikan maupun pengalaman. Meskipun adakalnya kita dapatsaja menemui suatu tantangan yang sangat berat, saat itulah kita harus tetap terus berjuang. Bilamana tujuan masih dekat kita bisa terus memberikan tenaga tenaga terakhir kita untuk mencapainya, namun bila tujuan masih jauh dan tak terjangkau jangan malu untuk menggunakan tenaga terakhir kita untuk sekedar menyelamatkan diri agar tidak mati dan bisa mencoba lagi di kemudian hari.
Versi pendek
“Hidup berbeda dengan kebanyakan itu susah, jika ingin mencapai tujuan kita yang berbeda, kita harus berani bertindak lebih, baik untuk sampai ataupun sekedar menciptakan peluang untuk mencoba lagi. “
(Dewa Putu AM, 2019)
Sepertinya agak banyak bualan ya yang tersebar pada tulisan saya kali ini. Mencoba merombak dan menemukan kembali makna makna terpendam dari pepatah dan karya jaman dulu lainnya juga sepertinya menarik untuk dijadikan tulisan tulisan berikutnya. Namun untuk tulisan ini saya sudahi sampai sini saja dulu karena lagi lagi dan lagi terlalu panjang
Salam
Dewa Putu AM
[highlight]Sumber Pustaka dan Gambar dalam Tulisan Ini[/highlight]
- Gambar 1 yang ada bapak bapak naik rakit di sebuah sungai di negeri Tiongkok, Gambar ini jugalah yang saya gunakan sebagai Feature Image sumber 雅惠 游 from Pixabay.
- Gambar 2 tentang kondisi sungai di dekat hulu yang biasanya berbatu dan ber arus deras (Image by jwvein from Pixabay)
- Gambar 3 tentang orang orang yang menaiki rakit modern untuk arung jeram (Image by julianomarini from Pixabay)
Leave a Reply