Dulu sekali kita sering mendengar suatu kata-kata bijak tentang kebermanfaatan dan makna dari jumlah masing masing bagian tubuh kita. Suatu kata kata bijak yang sedikit menyampaikan alasan kenapa kita punya dua mata, kita punya dua telinga, kita punya dua lubang hidung, dan kita punya jutaan sensor perasa di seluruh bagian tubuh kita, namun kenapa kita hanya memiliki satu mulut itupun lebih sering tertutup dan terkatup oleh bibir. Jawaban paling mudah untuk pertanyaan pertanyan tersebut adalah “Kehendak Tuhan”, dan tentunya jawaban itupun saya terima serta tidak ada yang perlu diperdebatkan lagi. Lagipula, kita juga tentunya menyadari, jumlah jumlah tersebut adalah jumlah bagian tubuh yang ada pada orang kebanyakan, dan ada beberapa orang diluar sana yang diberikan sesuatu itu dengan jumlah yang berbeda, baik berlebih atau kurang.
Mata adalah salah satu jendela antara penghubung kita dan dunia luar, lalu kenapa kita dibekali dua mata dan sautu mulut?, bukankah melalui mulut kita dapat berinteraksi lebih ke dunia luar, Dan kini semua berubah ketika jemari menggantikan bibir untuk berucap (Sumber Gambar by Alexandr Ivanov from Pixabay)
Terlepas dari jawaban tersebut, dan dengan tidak mengurangi rasa hormat bagi orang orang yang memiliki kondisi perbedaan dengan orang kebanyakan, melalui tulisan ini saya ingin sedikit berdiskusi sekaligus menyampaikan suatu kegelisahan yang saya rasakan. Ini tentang apa yang terjadi disekitar saya dan juga saya yakin terjadi juga di sekitar kalian. Hal ini berkaitan dengan sebuah pemahaman tentang jumlah bagian tubuh kita.
Makna Lalu yang Dulu Pernah Ada Untuk Menjelaskan Jumlah Itu
Jika kita bertanya kepada orang orang dulu maka beberapa akan menjawab bahwa jumlah bagian tubuh kita diseting dengan sedemikian rupa, dengan dua mata, dua telinga, dua lubang hidung serta jutaan sensor dikulit, namun hanya satu mulut agar kita lebih memahami dulu apa yang sedang kita hadapi. Untuk lebih banyak memahami apa yang sedang kita hadapi baik secara visual, suara, aroma, maupun teksturnya; kita harus cara lebih banyak melihat, lebih banyak mendengar, lebih banyak ‘merasakan aroma’ dan lebih banyak kontak langsung pada apa yang kita hadapi itu. Setelah memahami dengan dalam barulah kemudian kita ungkapkan dan berucap melalui perkataan namun cukup sedikit saja dan seperlunya. Kita harus banyak “merasakan” dan menjaga ucapan. Hal inilah yang menyebabkan banyak orang bijak yang selalu banyak terdiam sembari ia melihat, mendengar, dan merasakan apa yang terjadi, dan sekalinya ia berucap itu tepat sasaran dan cukup, tidak lebih dan tidak kurang.
Secara natural kita diciptakan untuk lebih banyak menikmati dunia luar dibandingkan menghabiskan waktu untuk berucap.Ada suatu hal yang menarik dengan alasan dan manfaat kenapa kita memiliki dua mata. Ini berhubungan dengan kemampuan kita untuk menangkap dan memvisualisasikan objek dalam ruang 3 Dimensi. Kemampuan ini disebut dengan stereoscopic vision. Yang pada intinya adalah kemampuan otak untuk menampalkan dua hasil rekaman visual dari masing masing mata dan menciptakan suatu informasi dari dua sisi yang berbeda dan kemudian di simpulkan sebagai informasi kedalaman objek visual. Hal yang sama juga terjadi pada indriawi kita baik itu indra pendengar, pembau dan perasa kita. Yang kesemuanya di desain untuk memahami lingkungan secara 3 dimensi.
Gambaran Konsep stereoscopic vision, Inilah yang menyebabkan kita dapat memahami kedalaman visual berupa jarak dari suatu objek dan bentuk yang lebih presisi.
Bagian bagian tubuh kita dibuat untuk memahami lingkungan sekitar kita dalam bentuk tiga dimensinya, baik itu visual maupun dari audionya. Kita di desiain sedemikian rupa untuk melihat, mendengar dan merasakan lingkungan dalam bentuk tiga dimensinya, sehingga kita dapat memahami seberapa jauh suatu objek dan berada dimana dia, apakah ia bersuara melengking di sebelah utara dan bersuara berat di bagian selatan apakah lebih hangat bagian timur dibanding barat, semua itu disediakan secara gamblang melalui jendela jendela indrawi kita. Dan kemudian muncullah suatu pertanyaan besar, kenapa kita hanya diberikan satu bibir untuk berucap? Pertanyaan ini akan memunculkan jawaban yang beraneka ragam, namun bagi saya yang paling sesuai dan masuk akal adalah agar kita lebih memahami dahulu daripada berucap, atau dengan kata kata anak sekarang “Jangan ‘banyak’ bacot kalau belum tau paham”.
Dari Bibir Berpindah ke Jemari, Semua yang dulu Ada dan Terkendali Seketika Berubah
Dijaman yang katanya kian canggih ini bermunculan alat alat bantu dan pengganti budaya kita berkomunikasi. Jika dulu kita harus banyak melihat dengan “dua mata” kita dan banyak mendengar melalui “dua telinga” kita kemudian bersuara lantang untuk didengar dan dilihat oleh lingkungan, kini kita hanya perlu melihat “satu” layar berpendar dan kemudian mulai menari dengan “dua hingga sepuluh jemari” kita untuk sekedar melontarkan ujuaran, entah itu ujaran yang bermakna dalam ataupun ujaran tanpa makna sekalipun.
Visual tentang tentang kita yang kini melihat melalui satu “Jendela” dan kemudian berinteraksi dengan menggunakan 2 hingga 10 jemari yang menari. (Sumber Gambar Robinraj Premchand from Pixabay)
Telah terjadi suatu pergeseran besar yang terjadi pada diri kita, cara kita memahami lingkungan kita dan juga cara kita berinteraksi dengannya. Jika sebelumnya ada pemahaman bijak yang menggambarkan keharusan kita untuk lebih banyak memahami baru kemudian berujar seperlunya. Kini semua berubah, melalui “satu layar berpendar” itu kita sudah bisa dan layak untuk memberikan reaksi dengan “dua jari” bahkan dengan “sepuluh jemari kita”. Kita kini hanya perlu dan ingin memahami melalui satu layar itu saja dan merasa berhak mengujarkan dan mengucapkan ribuan kata bahkan ujaran tanpa makna sekalipun.
Hal ini tampaknya terlihat dan terdengar sangat menyedihkan, dan ini pula lah yang menjadi kegelisahan saya. Tentunya hal itu juga tidak hanya berdampak dan terjadi pada orang orang di sekitar saya. Harus saya akui bahwasanya sayapun juga terdampak serius akan hal itu. Sayapun lebih banyak berucap dan bereaksi ketimbang sekedar memahami. Tampak bodoh dan tampak naif bila saya tidak mengaku hal itu.
Akan tetapi, sejenak saya berpikir, benar benar sejenak, sesejenak saat saya membuat tarian jemari untuk menuliskan tulisan ini saya sadar bahwa saya melupakan satu hal yang sebenarnya ada. Namun semua kabut pikiran pesimistik saya menjauhkan saya dari kenyataan itu. Ini tentang suatu kenyataan bahwa meskipun kita hanya melihat di “satu layar berpendar saja” namun untuk melihat dan mendengarkan itu kita masih masih menggunakan “dua mata” kita dan “dua telinga” kita. Dan meskipun kita menuliskan ujaran kegelisahan kita melalui “dua jari” bahkan “sepuluh jari”, sebelum tertulis dengan rapi tentunya diolah pada “satu otak” kita dan juga “satu sumsum tulang belakang kita”. (saya ingin berkata “satu hati” kemudian saya urungkan karena saya sedikit kurang setuju dan tidak pernah mendengar bahwa hati juga secara harafiah memiliki fungsi untuk berpikir).
Kesemua itu bermakna, meskipun kini kita hanya melihat melalui satu layar dan berucap melalui 2 hingga 10 jemari, namun sebenarnya kuasa itu masih ada pada diri kita, Dengan dua mata kita dapat melihat lingkungan di luar kotak pendar, atau bahkan jika perlupun kita dapat menggunakan 10 jemari kita untuk memilah dan memilih sudut pandang yang ditampilkan pada layar berpendar itu. Barulah kemudian kita mengolahnya dalam pikiran dan “hati” kita untuk kemudian dapat dengan cepat kita berikan reaksi melalui 10 jemari kita yang menari dan menyair sebuah ujaran yang bermakna dan menyejukan.
Itupun jika otak dan hati kita compatible tengan pergeseran yang terjadi pada jaman ini. Yah jikapun tidak sesuai, yang terjadi biarlah yang terjadi. Bermunculanlah kata kata kosong tanpa makna yang keluar dan bertebaran didalam jagat dunia maya kita. Kita tidak boleh protes dengan hal tersebut. Dunia yang sekarang terjadi memanglah seperti itu dan selalu disusun oleh bilangan digital 1 dan 0. Yah anggap saja orang orang yang masih sadar dan menjaga dalam berucap adalah orang orang yang memiliki otak yang hanya 1. Dan kemudian yang lainnya, ah sudah lah saya tidak ingin panjang lebar lagi. Cukup sekian dari saya.
Salam Hangat
Dewa Putu AM
Total
0
Shares
Buat saya sebenernya lebih puas untuk berbicara secara langsung kalau nggak terhalangi oleh jarak.
ia mba, saya pun ngerasa kyak gtu e mba dan lebih puas n aman bicara secara langsung soale lebih mudah mahamin konteks n suasananya dari body lguagenya juga yak,..