Mungkin akan terbaca berlebihan, namun bagi saya ada kebanggaan tersendiri saat saya berhasil mencapai garis finish dari lari Half Marathon (HF) pertama saya. Pada pertengahan bulan Juni ini bisa jadi merupakan salah satu pengalaman yang cukup mengesankan bagi saya. Secara mengejutkan saya berhasil finish 21 km pertama saya dalam waktu yang bagi saya cukup mengesankan yakni 2:54:37.
Atau bila dirata-ratakan, dalam event lari HF tersebut rata-rata saya berlari dengan Pase 8.3 menit. Memang bukan angka yang tergolong cepat untuk sebuah lari selevel HF, namun untuk mencapai itu ada perjuangan dalam perjalanan yang panjang. Setidaknya untuk saya demikian adanya. Untuk itu saya akan cerita pada kalian melalui tulisan ini.
Persiapan yang Sangat Panjang #Koensistensiadalahkoentji
Saya menyebutkan ini adalah perjalanan yang panjang Dalam 3 tahun terakhir Tagar #Koensistensiadalahkoentji selalu konsisten menghiasi sabtu dan minggu di akun instagram saya. Kebiasaan ini memang tidak serta merta langsung berkilo kilo meter jauhnya. Saya untuk menempuh jarak berkilo meter harus berprogres sedikit demi sedikit. Dari semula 100 meter sudah kehabisan napas, terus meningkat menjadi 1 Km kemudian 3 Km meningkat kembali 4 hingga saat ini mulai saya coba rutin untuk ambil jarak tempuh 6 Km.
Meskipun rutin saya coba untuk pase lari yang sangat lambat, bisa 10 atau bahkan 12. Hal ini karena saya tidak lari terus sepanjang trek panjang tersebut. Saya biasa berlari hanya 1.5 km baru kemudian berlari 300 meter dan kemudian berlari 1.5 km lagi. Kira kira begitu terus pase santai yang rutin saya lakukan. Saya pikir olah raga begini tujuannya hanya untuk badan segar dan bergerak, bukan untuk menyiksa diri kan :).
Hanya saja akhir akhir ini berhubung melihat perut sudah mulai membuncit, jadi setelah berlari saya mulai mencoba latihan otot perut. Untuk ini saya mengarsipkan salah satu posting instagram lari dan mengikuti gerakan itu saja sebanyak 4 gerakan yang dilakukan 3 kali 12.
Kesalahan Saat Pendaftaran “Makanthon” di Yogyakarta
Pendek cerita, saya pun tanpa sengaja mendapatkan iklan dari Mandiri Jogmar tentang adanya penyelenggaraan marathon yang diadakan di Prambanan Yogyakarta. Saya lupa lupa Prambanan itu masuk wilayah Jogja atau justru Klaten, akan tetapi dari judulnya mengambil nama Jogja jadi saya senbut di Jogja saja ya.
Kalau kata lagu, “Jogja terbuat dari rindu dan makanan”. Oleh karena itu tanpa banyak berpikir saya pun mencoba peruntungan saya untuk mendaftar event tersebut. Saat mendaftar sudah banyak list kenangan yang ingin saya rasakan nostalgianya di Jogja. Seperti bakmi Pele, Sate Klatak, Tengkleng Gajah, Wedang Ronde, Sop Ayam Pak Min, dan masih banyak lagi yang saya ingin coba ketika di Jogja nanti.
Permasalahan pendaftaran even larinya pun saya pikirkan sekenanya saja. Menurut saya asal sesuai dengan apa yang menurut saya saya bisa. Jadi saya mencoba Half Marathon (HF). Karena bodohnya saya semula saya pikir jika memilih Marathon saya akan harus menempuh sekitar 20 Km. Tentu dengan pengalaman lari yang santai santai jarak itu adalah jarak yang mengada ngada. Jadi saya pilih yang HF yang “saya pikir saat itu” adalah sekitaran 10 Km.
Sambil berbahagia memikirkan makanan makanan yang ada di Jogja, gesit jemari saya menyelesaikan pendaftaran dan berhasil. Dan keluar email bahwa saya akan mengikuti lari sejauh 21 Km. Yup, karena jarak tempuh Full Marathon yang benar adalah 42 Km, jadi HF yang saya daftar ternyata 21 Km. Lebih sedikit.
Jogja Terbuat dari Rindu dan Kenangan
Saya menuju Yogyakarta pada Jumat Sore. Saya sengaja pilih waktu keberangkatan jauh lebih awal dari waktu event untuk memberi saya waktu mengenang jalan jalan ke Yogyakarta. Jujur kata, saat itu saya exited untuk kembali lagi ke Yogyakarta. Saya merasa sudah lama sekali tidak memasuki suasana di Yogyakarta yang terasa nyaman dan waktu seolah berjalan lambat.
Sesaat saya merasakan sedikit geli, saat saya mencari ketenangan dari suasana yang bergerak perlahan di Yogyakarta justru untuk mengikuti event larinya.
Setibanya pesawat yang saya tumpangi di Yogyakarta International Airport (YIA). Sebuah bandara yang pembangunannya menjadi alasan utama saya datang ke Yogyakarta tepat 4 tahun yang lalu di 19 Juni 2019, ini peta yang saya buat saat itu sebagai bahan rapat terkait strategi untuk mengatasi potensi Tsunami di sana.
Kali ini bandara YIA telah terbangun dengan kokoh di sebuah daerah yang saya tuju untuk merasakan kembali sebentar saja kehidupan yang tenang dan lambat.
Setiba di ruang kedatangan, saya menghela napas dan melihat sekitar sambil tersenyum dan mendengar lagu lagu bertemakan Yogyakarta. dalam hati saya bergumam “Yogyakarta memang terasa nyaman dan disini terasa begitu santai dan udara terasa lambat”
Belum sempat saya mengambil napas yang ke dua, berbondong bondong orang yang ada satu pesawat dengan saya berlari terburu buru entah kemana.
(Bersambung)