Beberapa minggu belakangan ini kita diramaikan dengan pemberitaan tentang kebocoran data kita yang disimpan di Pusat Data Nasional. Kalau kita lihat dari pemberitaan sebelum sebelumnya, harus diakui bahwa kebocoran data sudah menjadi hal yang lumrah terjadi di negeri kita ini. Hal yang sudah sering terjadi itu semestinya menjadi pelajaran bagi kita semua dan jikalau memang penting semestinya sudah tertanggulangi dengan serius.
Namun dengan tetap terjadinya kebocoran data akhir-akhir ini, sepertinya dapat dikatakan bahwa data kita memang bukan hal yang seksi dan penting untuk diamankan. Kalaupun memang bocor memangnya bisa dibuat apa data itu? Sebelum ke sana coba kita berbincang lebih lebar lagi tentang kebocoran atau lebih umum lagi tentang keamanan data pribadi kita.
Tidak Ada Data Kita yang Penting
Sesekali kali saya coba berbincang dengan kenalan saya tentang kebocoran dan keamanan data ini yang sebenarnya tidak hanya terjadi di negara kita. Meskipun hal ini tentunya tidak bisa menjadi pembenaran tentang kebocoran data yang saat ini terjadi ya. Bahkan isu tentang keamanan data ini pada 2019 lalu telah ada satu film Dokumenter berjudul The Great Hack yang kemudian sempat saya ulas dalam salah satu tulisan saya dalam tautan ini.
Lebih jauh lagi pada pertengahan tahun 2013 juga sempat terjadi kehebohan tentang pentingnya pemahaman tentang keamanan data pribadi dan bahayanya pengawasan berlebih pada masyarakat. Kehebohan ini di picu oleh sebuah artikel investigatif oleh The Guardian dengan Snowden yang menjadi narasumbernya. Jika tertarik membacanya saya sarankan membaca buku No Place to Hide: Edward Snowden, the NSA, and the U.S. Surveillance State” sebuah buku non-fiksi yang ditulis oleh jurnalis investigasi Amerika, Glenn Greenwald.
Kembali ke pokok permasalahan, dalam keseharian kita sebenarnya kita rutin membocorkan data dan informasi tentang diri kita secara personal baik kepada suatu perusahaan besar ataupun kepada publik. Namun sayangnya kita masih belum peduli dengan semua itu. Dan jawaban dari kebanyakan orang termasuk saya adalah.
Ngga papa, toh yang saya share bukan hal yang penting dan sensitif juga jadi ngga masalah mau bocor
Hal inilah yang kemudian membuat kita mudah sekali memaafkan dan melupakan ketika kita mendengar bahwa data kita bocor atau bahkan hilang. Kita sekedar berteriak ketika karena kebocoran dan kehilangan data itu pelayanan yang harusnya kita terima menjadi terhambat. Seperti yang terjadi akhir-akhir ini yang banyak diperbincangkan justru terganggunya layanan-layanan yang sifatnya jangka pendek saja. Meskipun tidak boleh dipungkiri bahwa terganggunya layanan-layanan berdampak besar bagi sebagian orang namun ada satu isu yang kita abai.
Apa yang Bisa Diperbuat dengan Data-Data Itu?
Di tengah dunia digital kita yang semakin saling terkoneksi, data pribadi kita pun menjadi terhubung satu sama lain. Sebagai contohnya dari nama atau email saja, mungkin kita manfaatkan untuk mendaftar dan dicantumkan di berbagai akun sosial media kita, belum lagi nomor telepon, dan berbagai informasi lainnya.
Kebanyakan dari kita sudah dengan kesadaran diri penuh telah membagikan informasi kita ruang di ruang digital. Untuk data-data yang kita anggap umum seperti nama dan kontak sudah menjadi kebiasaan untuk kita bagikan bahkan secara publik. Namun untuk beberapa data yang lebih personal seperti riwayat penyakit, besarnya tabungan, cicilan dan lainnya tersimpan rapi dalam sistem pemberi layanan-layanan tersebut yang kita percaya. Meskipun beberapa ternyata bocor.
Sampai sini yang menakutkan sepertinya kebocoran data finansial kita ya, karena di tangan yang tidak bertanggung jawab bukan tidak mungkin uang yang kita kumpulkan susah payah dikuras oleh mereka dan memberikan kita kerugian yang besar.
Namun, ada bahaya laten yang sebenarnya lebih besar dari kerugian finansial saja. Data yang dikumpulkan dari kita dalam platform-platform yang kita gunakan tidak hanya sebatas apa yang tertulis dan kita masukan saja. Tetapi yang terpenting adalah interaksi yang kita lakukan dalam platform tersebut. Untuk di sosial media seperti komentar dan like yang kita berikan, konten yang kita arsipkan, waktu yang kita habiskan pada setiap konten yang dihadirkan arah kursor kita, dan semua interaksi kita dipantau dalam platform-platform tersebut.
Tujuan awalnya adalah agar platform lebih memahami preferensi kita untuk kemudian memberikan rekomendasi konten, produk atau layanan apa pun yang sesuai dengan preferensi kita. Tentu kita tidak asing bukan ketika melihat produk yang diiklankan di sosial media atau diiklankan di web lain adalah produk sering kita bicarakan seolah olah hp kita sedang mendengar apa yang kita obrolkan.
Rekomendasi Pilihan Produk hingga “Lainnya”
Dengan mempelajari berbagai pola yang ada apalagi dengan memanfaatkan teknologi yang berkembang sekarang proses pemberian rekomendasi produk menjadi semakin baik. Bahkan untuk beberapa khasus berbagai platform tampa kita sadari oleh kita telah berhasil memanipulasi kita untuk membeli produk yang mereka tawarkan, inilah kehebatan marketing jaman sekarang dan yang menyebabkan penguasaan data menjadi begitu berharga hingga perusahaan perusahaan teknologi menjadi perusahaan yang kaya raya.
Kemudian muncul pertanyaan, bagaimana kalau platform platform tersebut memanipulasi kita untuk menawarkan bukan hanya produk-produk biasa saja, pilihan politik misalnya, pilihan pemimpin, pilihan pihak mana yang kita bela, atau pilihan pilihan lain dari yang remeh temeh hingga pada pilihan yang berdampak langsung pada nasib bahkan kehidupan banyak orang secara masif seperti keberpihakan pada suatu isu perang.
Mungkin hal ini terlihat begitu berlebihan, namun kita mungkin sudah lupa dengan mega skandal Cambridge Analytica dengan operasi masif dalam manipulasi perilaku di berbagai belahan dunia yang kemudian berdampak pada pemilu di US dan Brexit.
Karena skandal tersebut kemudian membuat Facebook harus menjadi perusahaan yang merasakan dan berhadapan pada denda uang dengan nominal yang sangat besar bahkan masuk ke dalam denda terbesar di abad ini yakni sekitar 5 Miliar Dolar AS atau setara dengan 70 Triliun Rupiah. Yup itu Facebook, karena permasalahan soal data harus didenda segitu besar tidak tau kalau ada pihak lain gagal mengamankan datanya apakah didenda atau cukup minta maaf saja.
Dengan banyaknya celah dan kejadian kebocoran data yang kita alami saat ini, dan berkembangnya teknologi kecerdasan buatan generatif yang mudah sekali untuk membuat konten konten, maka naif sekali kalau kita berbaik sangka bahwa berbagai keriuhan didunia digital kita secara organik berasal dari orang orang seperti kita yang “peduli”.
The power of Netizen bahkan kemudian dapat menggerakan berbagai gerakan yang mempengaruhi berbagai hal di keseharian kita. Dari yang remeh temeh seorang anak yang menghina ibu ibu di bioskop, kasus kasus yang viral lalu kemudian menjadi konsentrasi kepolisian, hingga kejahatan kejahatan kemanusiaan seperti peperangan yang ada Ukraina, Palestina dan tempat lainnya.
Yang menjadi pertanyaan bodohnya adalah, seorang pedagang sendal pun dengan sumber daya yang seadanya memanfaatkan segala cara dengan mempelajari data-data yang ia punya agar melariskan tujuannya untuk menjual lebih banyak sendal, lalu bagai mana dengan
[sebagian text hilang]