“Titik Balik Kedua” Manajemen Bencana di Indonesia

152
0
Kondisi Balaroa paska Likuifaksi 2018
Gambar 1. Kondisi Balaroa sebagai salah satu contoh ekstrem tentang dampak yang ditimbulkan dari bencana yang terjadi pada tahun 2018. Hingga saat ini, bersama Petobo, Jono Oge dan Sibalaya  belum diketahui dengan pasti jumlah korban yang masih hilang dan tertimbun di daerah tersebut. Kondisi inilah yang menjadikan tahun 2018 layak dan perlu dijadikan sebagai “Titik Balik Kedua” Manajemen Bencana di Indonesia. (Sumber foto: Dewa)

Tahun 2018, “Titik Balik Kedua” Manajemen Bencana di Indonesia

Beberapa praktisi kebencanaan menyebutkan bahwa tahun 2018 merupakan tahun titik balik kedua dalam mitigasi bencana di Indonesia setelah tahun 2004 dengan kejadian tsunami di Aceh. Hal ini tidak mengherankan karena pada tahun 2018 kita banyak sekali mengalami kejadian bencana besar dalam hal intensitasnya, dampak yang ditimbulkan dan juga variasinya. Beberapa kejadian bencana besar yang paling banyak menyita perhatian kita pada tahun 2018 antara lain kejadian gempa bumi di Lebak Banten, Gempa bumi di Lombok, Gempa, Tsunami dan Likuifaksi di Sulawesi Tengah, dan kemudian diakhiri dengan Tsunami Senyap di Pandeglang akibat erupsi Anak Gunung Krakatau. Dari 2575 kejadian bencana yang terlapor dan dipublikasikan BNPB melalui DIBI, memperlihatkan kepada kita bahwa bencana yang terjadi sepanjang tahun 2018 menyebabkan 4836 orang Meninggal/Hilang, 21 ribu orang luka-luka dan 10 juta orang mengungsi. Dari angka tersebut, bila kita bandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang sekitar 264 Juta, maka dapat dikatakan bahwa bencana yang tahun 2018 telah mengakibatkan setidaknya  4 dari 100 penduduk di Indonesia menjadi Korban Meninggal, Luka atau Mengungsi.

Bencana yang terjadi sepanjang tahun 2018 tidak hanya menimbulkan penderitaan namun juga turut memberikan pelajaran dan juga membuka fakta bahwa masih banyak pekerjaan rumah bagi manajemen kebencanaan di Indonesia. Pelajaran yang sangat berharga dan langka yang kita dapatkan dari peristiwa yang terjadi di tahun 2018 yaitu dikenalkannya bencana likuifaksi, jenis bencana yang mungkin bagi kebanyakan dari kita baru pertama kali didengar, dan juga kejadian tsunami senyap akibat aktivitas vulkanik yang harus kita akui kita telah kecolongan dan tidak memperhitungkan hal tersebut ke dalam sistem peringatan dini tsunami kita. Pelajaran berharga dan baru tersebut juga datang dengan beberapa pekerjaan rumah yang perlu kita selesaikan dengan segera. Sebuah pekerjaan rumah yang penyelesaiannya membutuhkan kolaborasi aktif antara Pemerintah, Masyarakat, Pelaku Bisnis, Akademisi dan Media (Pentahelix dalam kebencanaan). Untuk mempermudah penyelesaian pekerjaan rumah yang hadir bersamaan “Titik Balik Kedua” Manajemen Bencana di Indonesia ini, kita bagi-baginya ke dalam Empat prioritas aksi yang ada di dalam “Sendai Framework untuk Penurunan Risiko Bencana”. Pertama, peningkatan pemahaman kita terkait risiko yang ada baik Bahayanya, Kerentanan serta Kapasitas kita dalam menghadapi bencana. Kedua, penguatan kemampuan memanajemen bencana baik di tingkat pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun di tingkat regional. Ketiga, berinvestasi pada upaya penurunan risiko bencana untuk meningkatkan ketangguhan kita  terhadap bencana Keempat, Peningkatan kesiapsiagaan demi mengefektifkan respons penanganan darurat bencana serta rehabilitasi rekonstruksi yang lebih baik dari sebelumnya.

Minat Masyarakat Terhadap Topik Bencana yang Timbul dan Tenggelam dengan Begitu Cepat

Berdasarkan empat prioritas aksi yang tertuang di dalam Sendai Framework untuk Penurunan Risiko Bencana, pemahaman risiko berada pada urutan pertama dan juga merupakan suatu prioritas aksi yang utama. Pemahaman risiko adalah langkah awal dalam manajemen bencana agar berjalan secara efektif. Dengan berpegang pada pemahaman risiko yang baik perencanaan dan implementasi ketiga prioritas aksi lainnya akan berjalan sedikit lebih mudah. Pengetahuan serta pemahaman risiko bencana dapat dimanfaatkan untuk menilai risiko suatu wilayah, perencanaan tindakan prevensi, mitigasi, kesiapsiagaan dan respons terhadap kejadian bencana di suatu wilayah. Pemahaman risiko yang dimaksud di sini tentunya tidak hanya untuk pemerintah dan penggiat kebencanaan lain namun juga untuk masyarakat secara umum. Justru masyarakatlah yang paling perlu dan berhak mengetahui serta memahami risiko bencana di sekitarnya karena masyarakat tersebutlah yang akan menerima dampak langsung dari suatu bencana dan masyarakat pula lah yang mempunyai daya paling besar untuk mengurangi risiko yang ditimbulkan,  

Berdasarkan empat prioritas aksi yang tertuang didalam Sendai Framework untuk Penurunan Risiko Bencana, pemahaman risiko berada pada urutan pertama dan juga merupakan suatu prioritas aksi yang utama. Pemahaman risiko adalah langkah awal dalam manajemen bencana agar berjalan secara efektif. Dengan berpegang pada pemahaman risiko yang baik perencanaan dan implementasi ketiga prioritas aksi lainnya akan berjalan sedikit lebih mudah. Pengetahuan serta pemahaman risiko bencana dapat dimanfaatkan untuk menilai risiko suatu wilayah, perencanaan tindakan prevensi, mitigasi, kesiapsiagaan dan respon terhadap kejadian bencana di suatu wilayah. Pemahaman risiko yang dimaksud disini tentunya tidak hanya untuk pemerintah dan penggiat kebencanaan lain namun juga untuk masyarakat secara umum. Justru masyarakatlah yang paling perlu dan berhak mengetahui serta memahami risiko bencana di sekitarnya karena masyarakat tersebutlah yang akan menerima dampak langsung dari suatu bencana dan masyarakat pula lah yang mempunyai daya paling besar untuk mengurangi risiko yang ditimbulkan,  

Pemahaman risiko bencana suatu masyarakat dapat dicapai bilamana masyarakat berminat dan berusaha untuk menggali topik-topik terkait kebencanaan secara mandiri. Meskipun pemerintah dan penggiat kebencanaan telah bersusah payah untuk merumuskan dan mendiseminasikan informasi-informasi kebencanaan secara masif pada akhirnya akan berbenturan pada minat dan usaha mandiri dari masyarakat. Fluktuasi minat dan usaha masyarakat dalam memahami bencana dapat dilihat dari jejak digitalnya. Berikut ini adalah grafik trend pencarian masyarakat indonesia melalui mesin pencari google dengan menggunakan kata kunci “Bencana” dari tahun 2004 hingga awal 2019. Sebagai pembanding, trend pencarian kata kunci “Gosip” sengaja saya gunakan untuk menunjukan kontras dan melihat apakah topik bencana dapat mengalahkan topik remeh namun sering dijadikan bahan pembicaraan masyarakat. Kata kunci “gosip” juga saya gunakan karena menurut argumen Yoval Noah Harari dalam bukunya yang berjudul Sapiens menyebutkan bahwa “gosip” adalah salah satu revolusi kognitif terbesar pada manusia yang menyebabkan kita sebagai manusia (Sapiens) dapat menguasai dunia.

Pemahaman risiko bencana suatu masyarakat dapat dicapai bilamana masyarakat berminat dan berusaha untuk menggali topik-topik terkait kebencanaan secara mandiri. Meskipun pemerintah dan penggiat kebencanaan telah bersusah payah untuk merumuskan dan mendiseminasikan informasi-informasi kebencanaan secara masif pada akhirnya akan berbenturan pada minat dan usaha mandiri dari masyarakat. Fluktuasi minat dan usaha masyarakat dalam memahami bencana dapat dilihat dari jejak digitalnya yang dalam kesempatan kali ini kita melihat melalui trend pencarian masyarakat Indonesia dengan menggunakan kata kunci “Bencana” melalui mesin pencari google. Berikut ini adalah grafik trend pencarian masyarakat indonesia dengan menggunakan kata kunci “Bencana” dari tahun 2004 hingga awal 2019, sebagai pembanding digunakan trend pencarian kata kunci “Gosip” yang sengaja digunakan untuk menunjukan kontras dan melihat apakah topik bencana dapat mengalahkan topik topik remeh namun sering dijadikan bahan pembicaraan seperti “gosip”.

Gambar 3. Trend pencarian dengan kata kunci “Bencana” di Indonesia sangat berfluktuatif sehingga terkadang muncul pendapat bahwa masyarakat di Indonesia adalah masyarakat yang mudah lupa “Amnesia” terhadap isu kebencanaan. Menariknya untuk wilayah Indonesia, secara rata-rata memiliki jumlah pencarian dengan kata kunci “Bencana” yang sebanding dengan pencarian dengan kata kunci “Gosip”

Melalui Gambar 3 kita dapat melihat trend pencarian kata kunci “Bencana “ yang sangat berfluktuasi dan meningkat signifikan pada waktu-waktu tertentu. Pada akhir tahun 2004 hingga awal 2005 minat masyarakat terhadap topik bencana meningkat drastis dan tahun inilah merupakan titik balik pertama manajemen bencana di Indonesia. Peningkatan minat terhadap topik mengenai bencana ini dipicu oleh kejadian bencana yang dampaknya sangat besar yakni Gempabumi dan Tsunami yang terjadi di Aceh. Kejadian ini pula yang kemudian mendasari lahirnya otoritas kebencanaan di Indonesia yakni BNPB. Minat masyarakat terhadap topik bencana kemudian terjun bebas pada tahun-tahun berikutnya hingga pertengahan tahun 2006 terjadi gempa di Yogyakarta yang membangunkan kembali minat dan perhatian masyarakat terhadap topik ini, namun sama seperti tahun 2004 penurunan minat juga tidak dapat dihindari. Fluktuasi seperti ini terus terjadi pada tahun tahun berikutnya, peningkatan signifikan pada minat masyarakat terhadap topik bencana selalu dipicu oleh kejadian kejadian bencana besar dan kemudian sayangnya minat tersebut tenggelam kembali.

Kontras dengan topik bencana yang bergolak dan berfluktuasi dengan sedemikian tinggi, trend pencarian dengan kata kunci “Gosip” di Indonesia justru relatif lebih stabil. Kestabilan trend pencarian dengan kata kunci “Gosip” menggambarkan bahwa  minat masyarakat terhadap topik remeh ini meskipun tetap ada masa dimana terjadi peningkatan dan penurunan tiba-tiba, tetapi tidak setinggi peningkatan dan penurunan pada trend dengan kata kunci “Bencana”. Hal ini menggambarkan suatu kondisi yang negatif dan sekaligus positif pada minat masyarakat. Peningkatan yang tinggi menunjukan bahwa sebenarnya masyarakat juga memiliki kepedulian yang tinggi terhadap bencana sehingga pada waktu waktu tersebut masyarakat banyak mencari informasi informasi terkait kebencanaan. Negatifnya, setelah peningkatan signifikan yang dipicu oleh kejadian bencana dengan dampak besar, minat masyarakat terhadap topik kebencanaan kembali mengendur bahkan sejak tahun 2012 hingga tahun 2017 topik kebencanaan hampir selalu dikalahkan oleh topik mengenai gosip. Dan pada tahun 2018 mulai menguat kembali dan mengalahkan topik gosip, hal ini tentunya dipicu oleh rentetan bencana besar yang terjadi pada tahun tersebut yang kemudian dapat dianggap sebagai “Titik Balik Kedua” Manajemen Bencana di Indonesia.

Selain meningkat secara signifikan terdapat pula pergeseran trend kata kunci terkait bencana yang dicari masyarakat melalui mesin pencari Google. Sebagai contoh pada peristiwa gempa bumi di lombok, 4 jam pertama setelah kejadian kata kunci terkait bencana yang populer terfokus pada cakupan dan dampak yang ditimbulkan oleh bencana seperti jumlah korban dan penyebutan nama nama wilayah yang terdampak. Hingga kemudian saat berita mengenai dampak sudah tersebar dengan luas melalui media televisi dan media online terjadi pergeseran trend kata kunci terkait kebencanaan. Pada rentang waktu tersebut tren pencarian yang sebelumnya terfokus pada dampak bergeser pada cara cara memberikan dan menyalurkan bantuan kepada korban bencana

Memanfaatkan “Titik Balik Kedua” Manajemen Bencana di Indonesia

Minat masyarakat terhadap topik bencana memang timbul dan tenggelam secara cepat dan tiba-tiba tergantung pada momen kebencanaan yang terjadi pada saat itu. Bila terjadi bencana besar maka minat masyarakat terhadap informasi kebencanaan akan akan meningkat drastis namun hal tersebut tidak berlangsung lama, ketika momentum nya sudah mulai hilang minat masyarakat terhadap bencana pun ikut menghilang. Timbul tenggelamnya minat masyarakat untuk mengakses informasi kebencanaan juga akan berdampak pada minat masyarakat dalam mencari tahu dan memahami risiko bencana di sekitar mereka. Pada momen yang tepat, yakni pada saat minat masyarakat terhadap topik kebencanaan sedang tinggi tingginya adalah saat yang tepat untuk menyediakan dan memberikan informasi informasi penting yang berhubungan dengan kebencanaan sebelum nantinya kembali tenggelam dan terlupakan.

Pada masa titik balik kedua dalam manajemen bencana di Indonesia ini adalah waktu yang tepat untuk memperbaiki manajemen bencana di Indonesia mumpung perhatian dan minat masyarakat terhadap topik terkait hal ini masih tergolong besar setelah rentetan kejadian bencana di tahun 2018 dan awal tahun 2019. Perbaikan-perbaikan yang perlu diprioritaskan tentunya aksi aksi yang menjadikan keterlibatan masyarakat. Baik dari segi peningkatan pemaham risiko melalui jalur pendidikan formal dan non formal, dan pembangunan sistem peringatan dini khususnya dalam menyiapkan dan meningkatkan kemampuan masyarakat dalam hal merespon suatu kejadian bencana. Seperti pada kejadian kejadian sebelumnya, minat masyarakat terhadap bencana pun pada akhirnya akan meredup kembali dan yang menjadi pertanyaan besar saat ini adalah

Apakah kita dapat memanfaatkan momentum  “Titik Balik Kedua” Manajemen Bencana di Indonesia ini dengan sebaik-baiknya atau kita harus menunggu lagi “momentum berikutnya”.

(Dewa Putu AM)

Tulisan ini saya buat untuk Majalah Gema BNPB, yah meskipun pembahasannya sedikit cere saya harap sih dapat lolos dan layak dipublikasikan dalam majalah tersebut. Hitung hitung biar agak kerenan sedikit si biar pernah nulis buat majalah hehehe. Sengaja saya publikasikan juga disini karena saya rasa topik ini cukup menarik dan sayang sekali jika tidak di bagi. Saya rasa cukup sampai sini saja tulisan saya saat ini, sampai jumpa ditulisan berikutnya.

Salam

Dewa Putu AM

dewaputuam
WRITTEN BY

dewaputuam

I'm a Disaster Analyst, Agro-Climatologist, and GIS Analyst. I like drawing, writing, playing guitar, gardening, and maybe reading too.

Leave a Reply

Total
0
Share

Discover more from Dewa Putu AM

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading