Di tengah hembusan asap yang pekat akhirnya hujan turun juga. Hujan yang digadang gadang sebagai salah satu keberhasialan dari sekian banyak usaha modifikasi cuaca ini turun dengan begitu lebat. Di sebuah teras gubuk kecil di salah satu daerah yang sekian lama menutup diri dan mengilang dalam pekat kabut menyesakkan itu duduk seorang kakek dengan cucunya. Dua cngkir air berisikan minuman berwarna hitam pekat dan coklat kemerahan mengepulkan uap air berwarna putih tipis tertiup angin dan hendak memasuki rumah.
Aroma sangit menyesakkan yang berhari bahkan berminggu menyengat sedikit terganti dengan aroma aroma tanah yang menari dihantam butiran air. Pekat sangit memanglah belum menghilang namun bersembunyi dan mengintai sejenak dan menunggu waktu yang tepat untuk memukul setiap hidung dan paru makhluk bernapas di dekatnya.
“Kek,… Apakah hujan seperti ini menentang hukum alam, menentang apa yang digariskan tuhan kah?” celoteh sang cucu sambil mengusap perlahan gawai yang ia pandangi sendari tadi. Pendaran cahaya gawainya memnyelimuti wajak sang cucu membentuk kontur kontur berona terang dari hidung hingga tiga per empat pipinya. Dari bayangan yang terpantul dimatanya terlihat jelas dominasi cahaya biru putih memancar dari gawainya.
Ketika Sang Kakek Bercerita Tentang Hujan dan Kita
“Kenapa kau tanyakan begitu cu?” tanya sang kakek sambil sedikit mencondongkan badannya untuk sedikit menggeserkan lipatan perutnya kearah yang lebih nyaman serta membagi nyeri persendian tulang tulang bagian kannyannya kearah tulang lain di bagian kiri. “woy narator, jangan gambarin gerakan kakek ini sedetail itu dong, saya memang tua tapi tidak serenta itu ya? keh keh keh” kata sang kakek kepada saya (penulis). “Oke siap kek, monggo dilanjutkan adegannya” jawab saya sambil terus menulis.
“Oke cu, kita lanjut. Tadi gimana cu” tanya sang kakek sambil menggeser lipatan perutnya dan membagi nyeri punggunya kearah pinggangnya lagi dan kini matanya menyorot tajam pada saya mengisyaratkan sesuatu yang sepertinya saya paham apa maksudnya.
“Ini kek, tadi saya sedang baca berita tentang penanganan kebakaran hutan hari ini. Berita bagusnya kek, tim modifikasi cuaca telah berhasil mendatangkan hujan ini. Jadi hujan yang sekarang kita rasakan ini salah satu hasil dari tim modifikasi cuaca kek. Tapi yang buat saya berpikir ada yang berkomentar kalau usaha seperti ini melanggar hukum tuhan kek. Benarkah begitu kek?” tanya sang cucu sembari menunjukan apa yang ia lihat sendari tadi di gawainya.
Sejenak kakek mendekat kearah sang cucu dan mengenakan kacamata yang tadi terguntai dan terselip di saku bajunya. Setelah sekian lama berkomat kamit membaca berita tersebut akhirnya sang kakek bersuara lagi “uhuk uhuk uhuk” ia kemudian menserusup kopi hitam pekat untuk meredakan tenggorokannya. “Jadi gini cu, kakek ingin meluruskan sedikit. buat hujan buatan itu tidak ujug ujug dari tidak ada angin tidak ada awan langsung bisa disulap ada hujan. Hujan buatan itu pada intinya hanya ningkatin kemungkinan hujan dari sebelumnya yang sudah memang ada namun masih kecil kemungkinannya. Jadi sebenere mirip mirip lah prinsipnya sama kita bertani yang kita lakuin apapun yang kita bisa ngatur jarak tanam, kasi pupuk dan nyediain air buat ningkatin hasil.”
Perlawanan Terbesarkita Hukum Alam Bukan Pada Saat Kita Memodifikasi Cuaca.
“Untuk menyemai hujan kita perlu memahami bagaimana itu proses terbentuknya butir butir hujan diawan, apa yang menyebabkan uap uap air disana menjadi air disana menjadi butir air yang cukup berat untuk jatuh dan memukul daratan. Itu ada seninya cu, dengan katalain kita harus paham dulu hukum yang ada disana yang ternyata untuk membentuk butir butir hujan perlu ada partikel kondensasi.
Yah kalau di dunia nyata bisa dianggap sebagai provokatornya lah, dialah yang bertanggung jawab untuk menarik massa (air dan uap air) untuk berkerumun dan kemudian membentuk butir butir hujan. Kita tetap harus mengikuti hukum tersebut untuk sedikitlah menginterferensi, mengikuti dan bukan malah melawannya.” Ucap sang kakek kembali menggeser geser kerut lipat pada kulitnya sembari membenahi posisi tulang rentanya dan melirik tajam lagi kepada sang penulis.
“Cu,.. Perlawanan dan penyangkalan terbesar yang kita pada alam bukan pada apa yang kita perbuat untuk mendatangkan hujan, bukan pula pada bagaimana orang yang “membakar” hutan demi uang.
Perlawanan kita pada hukum alam terbesar kita adalah tidak menggunakan dengan baik satu satunya pembeda kita dengan tumbuhan dan hewan di luar sana” ucap sang kakek sambil menunjuk keningnya sambil berucap “Rasional kita cu”
Kakek Putu 2019
Setelah berucap demikian, sang kakek beranjak dari kursi santainya dan berjalan gontai perlahan melewati pintu. Tangan kirinya menggenggam lembaran surat kabar yang tidak jelas tulisannnya dan didominasi warna putih yang katanya suatu ekspresi untuk menggambarkan mengganggunya asap. Tangan kanannya yang keriput dan sedikit bergetar memegang cangkir kopinya yang sudah kosong, habis diminumnya saat asik berbincang dengan sang cucu. Gerak kakinya perlahan menyusuri lantai kayu dan suara decit antara sandal dan lantai nyaris tidak terdengar oleh suara derasnya air hujan. “Nek, minta kopi lagi dong” ucapnya sambil memasuki rumah munyilnya.
Feature Image by Nur Andi Ravsanjani Gusma from Pexels