Peringatan Darurat ! dan Realitas

Ini peringatan darurat, sekelebat sebuah konten tetiba menghiasi beranda dari berbagai sosial media saya. Terlihat sebuah video berlatar hitam berkedip dengan beberapa tulisan di depannya. Ada beberapa poin yang disampaikan dengan gaya bahasa yang lugas dan tegas dan menusuk ke berbagai isu terbaru. Hal serupa juga pernah muncul dengan berbagai warna yang berbeda merah dan…


Ini peringatan darurat, sekelebat sebuah konten tetiba menghiasi beranda dari berbagai sosial media saya. Terlihat sebuah video berlatar hitam berkedip dengan beberapa tulisan di depannya. Ada beberapa poin yang disampaikan dengan gaya bahasa yang lugas dan tegas dan menusuk ke berbagai isu terbaru. Hal serupa juga pernah muncul dengan berbagai warna yang berbeda merah dan paling ramai dulu berwarna biru namun hal yang sama selalu muncul latar garuda dan dengan gaya bahasa yang tak kalah.

Mungkin teman-teman pernah juga melihatnya, atau bahkan juga ikut mengampanyekannya dengan membagikan ulang melalui akun sosial media pribadi. Fenomena-fenomena seperti ini sering kali membuat saya kagum pada begitu masifnya sebuah gagasan dapat menyebar dan seberpengaruh itu membangun persepsi bersama hingga terkadang dapat mendorong sebuah pergerakan.

Terlepas dari apa pun isi dari peringatan itu, mungkin kita tiriskan sebentar karena saya yakin pasti akan banyak pembahas yang menyoroti hal ini. Tunggulah beberapa saat, saya ikut juga untuk menanti serunya bahasan-bahasan mereka dengan segala dinamika perdebatannya.

Kenapa Harus Damai Kalau Masih Bisa Bertikai 🤣

Menurut Saya, ini bagian serunya. Setiap gagasan yang menyentuh banyak orang dan ramai dibicarakan, sudah pasti 100% akan ada pro dan kontranya. Terlebih untuk yang heboh seperti “Peringatan Darurat”. Dari yang sudah sudah kita akan dipertontonkan berbagai adu argumen dari yang cerdas sampai yang kosong tanpa makna dengan sedikit bumbu adu hujatan yang ramai bak hajatan. Akan saling terlempar data, fakta dalam kata membentuk gagasan, umpatan dan umpitan dari setiap kubu.

Baku hantam antara si Biru dan si Merah dengan penonton yang riuh menanti menyaksikan setiap pukulan (Sumber gambar: Photo by Coco Championship from Pexels)

Si A di sisi merah akan berkata ini sudah sangat urgen, bahaya, darurat bagi kehidupan dan penghidupan kita. lalu semua data dan berbagai informasi tentang “Realita yang Kita Hadapi” akan dijelantrahkan dan dimuntahkan beserta puluhan ribu like love dan apresiasi bentuk lainnya. Sepertinya like 👍 love ❤️ komentar 💁🏻 dan berbagi ulang itu bisa dianalogikan semacam riuh tepuk tangan penonton yang menyaksikan dan mendukung jagoannya sedang bertarung.🥳

Sedangkan di sisi lain di sisi biru, si B pasti akan membalasnya dengan mengatakan kalian semua salah persepsi, ini semestinya diartikan seperti ini dan juga tidak mau kalah dengan data dan berbagai informasi tentang “Realitanya yang kita hadapi” lainnya yang tidak jarang justru bertentangan dengan si A sampaikan. Sisi ini pun tidak kalah riuh dan ramainya dengan like 👍 love ❤️ dan puja puji 🥳 pada komentar 💁🏻 itu.

Semakin lama pertarungan akan terus bergulung bak MLM yang semakin lama mengetok dan mmenular ke orang orang sekitarnya. Kemudian “sebagian orang” akan dengan mudah, yakin dan penuh percaya diri mulai mengambil posisi si A. Sedangkan “sebagian lainnya” akan sama yakin, mudah dan percaya dirinya untuk mengambil posisi sejalan dengan si B.

Hal ini pun akan berlangsung sekian waktu tergantung dari alotnya pertarungan yang terjadi. Berbagai kubu tidak akan ada yang mengalah dan terus mengadukan masing untaian data dan informasi nya menjadi gagasan sembari terkadang dilayangkan pula sindiran dan caci maki pedas. sambil berkata pasti dan yakin “Lha Realitanya Begini Lo, kamu bagaimana si masak nda liat itu! dasar [sensor] [sensor] [sensor]” begitulah seterusnya seperti biasanya dan seperti semestinya. Meski kalau dirasa rasa semestinya seterusnya tidak begitu kan ya. Tapi realitanya?

Kita Hidup di Realitas yang Berbeda Kawan

JIka kita memperhatikan, masing masing pihak akan mengajukan dan menawarkan “Realitanya” . Kadang perbedaannya sangat tipis namun tidak jarang justru malah bertolak belakang. Hal inilah yang kemudian memunculkan pertanyaan, “Dari kedua realitas itu, mana yang benar?”. Jika si A benar apakah berarti si B salah? lalu bagaimana bila sebaliknya dan justru si B yang benar, apakah itu juga berarti si A yang justru salah? Manakah yang menggambarkan situasi sebenaranya tanpa adanya faktor subyektifitas dari keduanya itu? jika salah satu dari mereka salah, lalu kenapa kedua dari mereka begitu yakin bahwa pendapat mereka itu benar? kenapa juga mereka juga selalu bilang bahwa apa yang mereka pandang itu sebagai fakta dari penilaian obyektif mereka.

Lusinan pertanyaan muncul bergantian, berkembang hingga membuat saya terdiam tanpa menemukan jawaban yang jelas dan memuaskan. Alih-alih mendapatkan jawaban yang memuaskan saya justru tertarik pada konsep realitas. Hal ini didasari dari pemikiran yang memungkinkan bahwa si A dan si B itu benar dan tidak ada yang salah. Kebenaran ini saya merasa tidak sebatas pada persepsi saja yang menyangkali fakta, tetapi lebih pada memang adanya demikian realitasnya. Dengan kata lain realitas itu tidak hanya satu saja.

Bahkan seekor anjing pun berjuang jika ada perbedaan pandangan, jadi masuk akal lah kalau kita juga berjuang untuk yang manis-manis itu 😩 mohon maaf nda nyambung. Tapi bahkan seekor anjing pun punya realitas yang diperjuangkan loh (Sumber gambar: Photo by Barnabas Davoti from Pexels)

Hal ini mengingatkan saya tentang konsep 3 Realitas yang disampaikan oleh Youval Noah Harari dalam Buku barunya yang berjudul Nexus: A Brief History of Information Networks from the Stone Age to AI.

Melalui buku ini, Youval Noah menjelaskan Ada tiga tipe realitas yang disampaikan Youval, antara lain Realitas Obyektif contohnya keberadaan matahari, hutan, lautan, gunung atau dapat diartikan sebagai sesuatu hal yang ada (eksis) bagaimanapun kita menyadari atau tidak menyadari keberadaannya. Sedangkan Realitas Subyektif dapat berupa luka, kenyamanan, cinta, perasaan suka maupun tidak suka dan segala sesuatu hal yang ada didalam diri kita. Realitas Subyektif dapat diartikan sebagai sesuatu yang ada dalam lingkup subyektif kita yang keberadaannya tergantung dari kesadaran kita.

Pembeda dari realitas obyektif dengan realitas subyektif terletak pada lokasi eksistensinya, realitas obyektif eksis di luar diri kita sedangkan realitas subyektif ada dalam diri kita. Hal ini mengakibatkan kesadaran kita tidak akan berpengaruh pada realitas obyektif sebagai mana yang terjadi di realitas subyektif yang eksistensinya tergantung dari kesadaran kita.

Lalu yang menjadi pertanyaan sekarang adalah isu-isu yang disampaikan oleh si A dan si B masuk dari realitas mana? Dengan adanya perbedaan antara si A dan si B ini sepertinya sudah tidak perlu diperdebatkan lagi bahwa keduanya masuk dalam Realitas Subyektif. Realitas masing-masing pihak ini terbentuk oleh informasi yang didapatkan yang terakumulasi dalam pengalaman hidup kita yang membentuk nilai dan norma kita. Hal ini sangat mungkin untuk terjadinya perbedaan.

Jika ada yang tidak sepakat bahwa apa yang mereka yakini itu tergolong realitas subyektif. Saya ada satu cara yang menurut saya cukup efektif untuk mengujinya. Cobalah buat ia tak sadarkan diri, dan cek apakah realitasnya masih ada saat ia tidak sadarkan diri. 😂 (bercanda ya ini hehe)

Selain realitas subyektif dan obyektif, ada realitas ke tiga yang bekerja dan berkembang antar kelompok individu tertentu yang kemudian disebut sebagai Realitas Inter-Subyektif. Jika Realitas Subyektif seperti kesedihan eksis pada kesadaran satu orang, maka Inter-Subyektif seperti hukum, negara, bahkan konsep Ketuhanan, kerja sama dan lainnya eksis di dalam ruang abstrak/ titik temu (Nexus) yang menghubungkan banyak pikiran. Kesadaran kolektif ini yang antar kelompok sering kali berbeda dan sayangnya sering juga menimbulkan baku hantam yang tidak perlu.

Ruang Gema Menjadi Dinding Pemisah dan Lem Perekat Realitas

Foto Milky Way yang saya ambil dari Gunung Batur, semoga nanti saya bisa cari Foto ini lagi. Dari Foto ini menyadarkan saya bahwa kita ini sangat kecil ya. Kita hanya debu dalam angkasa yang luas ini (Sumber: Dokumen Pribadi)

Apa yang kita anggap benar terkadang diamini oleh beberapa orang terdekat kita yang sering berkomunikasi dan berinteraksi dengan kita. Semakin ide itu didiskusikan semakin terbentuk juga kesadaran kolektif antar kita dan orang-orang terdekat kita. Semakin lama kesadaran itu terjalin dengan berbagai data, informasi dan rasa bertindak seperti batu bata yang terus semakin banyak dan membangun sebuah Realitas Inter-Subyektif yang semakin kokoh. Dinding maya di Realitas Inter-Subyektif ini semakin lama akan semakin efektif menggema ke setiap individu yang ada di circle mereka sekaligus memfilter mereka yang tidak sepaham agar tidak masuk.

Inilah ruang gema yang akan mengamplikasi kesadaran kolektif individu dalam suatu kelompok yang merekatkan dan sekaligus menjauhkan jarak kesepakatan dengan kelompok lainnya. Terlebih untuk kelompok yang memiliki pengalaman kolektif yang kontras berbeda, jarak kesepakatan akan semakin sulit bahkan tidak mungkin untuk diwujudkan. Kecuali mereka ada dalam realitas Inter-Subyektif konteks lainnya. Misalnya fenomena orang Indonesia yang meskipun perdebatan, baku hantam yang sangat panas akan banyak yang adem ayem dan terus menguatkan jika harus mendukung Tim Nasional Sepak Bola. (Ngomong-ngomong itu Jersey Timnas bagus banget ya Tuhan, pengen banget saya beli Jersey itu)

Oh ia, maaf sedikit terdistract. Pada intinya Realitas Inter-Subyektif ada baiknya untuk kita sadari agar kita tidak secara egois hanya bersandar pada realita yang ada di kita saja karena kita merasa banyak yang sepaham dengan pemikiran kita. Hal ini kemudian membuat kita terjebak dan secara sadar memakaikan kaca mata kuda untuk diri kita sendiri. Dalam keterikatan bahkan bisa dikatakan keterkurungan dirikita pada satu realitas Inter-Subyektif yang sangat kuat menjadikan kita sering kali berpikiran bahwa kitalah yang paling benar, karena realitanya memang demikian.

Terlebih dalam era sosial media dan kecerdasan buatan yang semakin lama semakin besar dan kuat ruang gema yang terbangun. Data, Informasi yang membentuk kenyataan kita akan semakin banyak dipilihkan dan dipilahkan oleh algoritma kecerdasan buatan yang sangat mudah bisa ditebak akan semakin “Relevan” dengan apa yang kita inginkan. Relevansi yang semulanya diperuntukan untuk meningkatkan efektifitas periklanan dan penerimaan pengguna terhadap suatu produk, saat ini justru menjadi penjara digital yang terus memberikan kita makanan (informasi) yang hanya kita sukai sekaligus menghindarkan kita pada nilai nilai yang berbeda dengan kita diluar Realitas Inter-Subyektif kita.

Jika mulai memahami harapan saya, kita semua akan semakin sadar bahwa ada realitas ada kebenaran yang keberadaannya mungkin bersebrangan bahkan bertentangan dengan realitas kebenaran yang kita amini. Harapan saya dari perbendaan itu bukanlah menjadikan alasan bagi kita untuk terus bertengkar bahkan membuat orang hilang kesadaran atau hilang nyawa (amit amit 😭).

Sebagai akhirnya, harapan tertinggi saya yang mungkin akan sangat sulit ya, kalau bisa kita mulai membuat bersama Realitas Inter-Subyektif yang baru. Sebuah Realitas Inter-Subyektif yang menyadarkan kita bahwa di dalam hidup ini ada banyak sekali realitas, yang biasa sekali untuk berbeda. Cukup dinikmati saja keindahan realitas ini hingga kita bisa melihat semua realitas itu secara utuh hmm mungkin bisa kita sebut sebagai Semesta Inter-Realitas. Itu saja si, cukup itu saja. Bisa kan ya? Jika memang sulit, ayolah sedikit mencoba untuk memahami yang lain dan sudut pandangnya tanpa adanya penghakiman.

“Saya tahu saya menyampaikan ini dengan tone yang biasa biasa ini. Padahal saya menyadari ini sesuatu yang darurat dan semestinya menjadi Peringatan Darurat Perpecahan untuk kita.”

Cover Photo by cottonbro studio


Leave a Reply

Total
0
Share

Discover more from Dewaputuam

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading