Kembali kepada prediksi bulan Maret dan Juni, Bagi sebagian orang mungkin sedikit dibuat heran dengan banyak berita yang menyebutkan Riau sudah terbakar sejak Januari, Februari. Keheranan ini biasanya dialami oleh orang orang yang tinggal di Daerah Jawa, Bali dan Sumatera bagian Selatan. Hal ini dikarenakan pada bulan bulan tersebut Wilayah Jawa dan sekitar sedang mengalami musim penghujan yang tentunya kecil kemungkinan terjadi kebakaran hutan dan lahan pada waktu waktu tersebut. Dalam Klimatologi, secara sederhana Indonesia memiliki 3 tipe curah hujan umum yaitu tipe curah hujan monsunal, curah hujan equatorial dan curah hujan lokal.
Untuk Permulaan, Kita Salahkan saja Dulu Iklimnya
Wilayah yang memiliki tipe curah hujan Monsunal seperti Jawa, Bali, Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara mengalami musim penghujan pada Bulan Januari-Maret dan kemudian akan mengalami kmarau sejak Maret hingga September, kemudian Hujan lagi. Berbeda dengan Monsunal, wilayah wilayah seperti Sumatera bagian Utara hingga Tengah, Kalimantan, Sebagian Sulawesi, Maluku dan sebagian Papua yang memiliki curah hujan tipe Equatorial justru pada bulan Januari- Maret mengalami musim kering dan kemudian kering lagi pada Mei-Juli. Hal ini lah yang menjadi dasar prediksi BNPB sebelumnya. Pada bulan Maret dan kemudian dilanjutkan Bulan Juni tersebut secara klimatologis Wilayah Riau dan beberapa wilayah yang bertipe equatorial akan mengalami musim kering. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat melalui Gambar dibawah ini.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa kebakaran di Indonesia banyak diakibatkan oleh pembukaan lahan untuk perkebunan. Begitu juga yang saat ini terjadi di Riau. Hal ini disampaikan oleh Raffles B. Panjaitan, Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan dimuat dalam Tempo. Beliau menyebutkan bahwa kebakaran lahan di Riau kebanyakan memnag diakibatkan oleh kesengajaan membuka lahan perkebunan kelapa sawit.
Kita Butuh Antibiotik untuk Menangani Karhutla
Jika memang ada unsur kesengajaan disana, maka dapat dikatakan bahwa prediksi prediksi terkait lokasi kebakaran hutan yang selama ini dilakukan para ahli BMKG dengan FDRS-nya dan CCROM dengan kebakaranhutan.id nya, monitoring air tanah oleh Badar Restorasi Gambut, monitoring hotspot oleh LAPAN dan BMKG hanya berguna untuk menebak waktu dan lokasi yang tepat untuk para pembakar melakukan aksinya. Atau setidaknya menebak kira kira dimana para pembakar akan membakar lahan. Saya disini tidak mengatkan bahwa usaha usaha yang instansi instasi tersebut tidak berguna. Apa yang mereka lakukan sangat berguna namun menurut saya ada kurang satu aksi yang sangat penting bukan dari instansi instansi teknis dan juga instansi berbasis riset namun instansi penegak hukum.
Jika saya boleh menganalogikan kebakaran hutan adalah sebuah penyakit, maka usaha dan aksi para Kementerian dan lembaga adalah obat pereda panas, obat pereda batuk dan pengurang rasa mual. Namun agar penyebab gejala gejala tersebut dapat diatasi maka kita perlu Antibiotik yang membunuh sumber (penyebab) gejala gejala penyakit tersebut yang dalam hal ini karena penyakit sebenarnya adalah ulah manusia dan bukan iklim, maupun kelembban tanah maka usaha utama untuk mengendalikannya tidak lain adalah usaha di bidang hukum dan sosial serta ekonomi. Saya menambahkan bidang sosial disini karena tidak semua kegiatan pembakaran tersebut sesederhana yang salah di tangkap dan dipenjara. Ada permasalahan sosial yang kompleks sedang terjadi disana yang tentunya penyelesaiannnya juga harus didekati dengan pendekatan ilmu sosial dan ekonomi.
Pendekatan politik akan melengkapi racikan antibiotik yang sebelumnya sudah diisi dengan hukum, sosial dan ekonomi. Permasalahan ini tentu tidak dapat diatasi oleh remah remah kerupuk kaum proletar seperti saya, suara pun sudah pasti tidak didengar dan di gubris. Butuh banyak kaum elit yang memang mengesampingkan ego pribadi dan sektoralnya untuk menanggulangi masalah ini. Selain mengesampingkan ego, mereka mereka ini juga perlu mengamani dirinya dengan perlindungan berlapis lapis karena yang dihadapi mereka bukan sesuatu yang main main. Ada triliun-triliunan rupiah berputar dan bertarung di mimbar kebakaran hutan dan lahan dari hulu seperti perkebunan-perkebunan hingga hilir seperti usaha usaha pemadamannya penyewaan heli misalnya yang tentunya akan keluar angka fantastis bila dihitung.
Tanpa adanya aksi aksi yang bersifat antibiotik, saya ragu karhutla dapat kita tangani dengan baik dan kita dapat terlepas dari aksi aksi yang hanya berkutat pada tukang memadamkan api. Kita pun akan semakin banyak menemukan berita berita tentang ribuan korban yang berjatuhan karena penyakit pernapasan. Dan kemudian berita tersebut akan dikalahkan oleh berita protesnya para tetangga yang kita asapi sepanjang kemarau. Kita tidak tahu pasti akan sampai sejauh mana dampak yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan, para pecinta alam mungkin akan berkoar koar tentang hilangnya kekayaan hayati indonesia. Namun saya rasa tidak hanya itu, Karhutla tidak lah hanya membakar kekayaan hayati kita, namun membakar pula kekayaan hati kita yang tetap diam melihat orang merendahkan diri dengan menjual nyawa dan masa depan jutaan orang hanya demi uang semata (omong kosong sekali ya hehehe). yah tapi jauh dari itu, kita membutuhkan antibiotik untuk permasalahan karhutla, ntah itu secara harfiah berarti “bersifat Anti-bio” atau secara tersirat saja sudah cukup.
Tanpa itu semua Riau dan Wilayah lainnya akan Tetap Berkobar, Membara dan Kemudian Meng-Asap #Mungkinselamanya hingga pohon terakhir tumbang dan berakhir pada musium yang bertuliskan “Dulu sekali kami memiliki hutan yang kaya namun kami gagal menjaganya”
(Dewa Putu AM, 2019)
Sekian dari saya, kalau saya ulik ulik lebih dalam lagi akan berbahaya hehehe saya masih sayang nyawa. Akhir kata
Salam
Dewa Putu AM.
Sumber Featured Image Pixabay.com
Hm…jadi tahu karena saya sekarang di Sumatera. Pantes berbeda lumayan jauh dengan di jawa ya.
Ia mbak, biasanya agak kaget yah hehehe biasa di Jawa lagi basah basahnya eh pas pindah daerah lain ternyata justru lagi kering