Di minggu ini saya ingin melanjutkan lagi dua tulisan sebelumnya untuk sedikit kilas balik 10 tahun saya bersama GIS. Tulisan saya yang pertama membahas tentang awal saya dikenalkan dengan bidang keahlian pengelolaan data spasial ini. Pada tulisan ke dua saya menceritakan tentang fokus saya yang mulai berbelok dari yang sebelumnya lebih banyak berurusan di bidang agrometeorologi ke manajemen bencana.
Jika mengikuti dari awal cerita, ada satu pola yang sama antara tulisan saya yang pertama dengan tulisan ke dua memperlihatkan bahwa “Apa yang terjadi di perjalanan tidak hanya dihasilkan dari usaha saya, namun banyak juga bantuan dari orang lain. Hal inilah yang ingin saya tekankan. Walaupun saat ini pun perjalanan masih berlanjut, dan tidak jarang pula masih sulit dan pelik. Pola yang ada pun masih sama seperti dulu. Banyak sekali orang yang terlibat, mengambil peran dan membawaku ke perjalanan-perjalanan berikutnya.
Warna Putih itu, Bertahan Cukup Lama dan membawakan banyak cerita
Salah satu pengalaman yang menurut saya paling menarik saat belajar di Jogja adalah saat letusan Gunung Kelud. Seingat saya pada waktu itu, di tengah malam saya sedang makan mie di warung burjo dekat kos. Saat itu langit Jogja tampak sangat merah, lain daripada biasanya. Sebelumnya saya tidak begitu mengetahui bahwa sedang ada letusan Gunung Kelud. Karena di pagi hari akan ada ujian, maka setelah makan, sayapun langsung pulang ke kamar kos dan segera tidur.
Dini harinya, WhatsApp grup kuliah sangat ramai. Sesekali saya menengok ternyata sedang heboh membahas tentang meletusnya Gunung Kelud. Karena penasaran, saya mencoba keluar dan melihat langit, dan sua sana yang masih gelam perlahan abu vulkanik mulai turun dan membuat perih saat terkena di mata. Karena tidak memungkinkan untuk diadakannya perkuliahan pagi itu semua perkuliahan diliburkan.
Saat abu datang, sejauh mata memandang hanyalah warna putih dan membuat sangat sesak meskipun sudah menggunakan masker. Kotoran hidung pun menjadi sangat maksimal kala itu. Tekstur abu cenderung halus namun tajam. Iseng saya mencoba mencicipi rasanya ternyata agak sepat dan kesat. Cukup iseng memang yang kulakukan saat itu. Penasaran karena saya baru satu kali merasakannya, terlebih buat saya yang besar di Lampung tengah yang sangat jauh dari gunung api dan juga sangat jauh dari laut.
Abu vulkanik Gunung Kelud di tahun 2014 itu sampai saat ini masih saya simpan dalam sebuah botol kaca di kamar saya di Lampung. Lumayan karena bagi saya ini masuk sejarah dan perlu untuk dikoleksi.
Bencana dari Memetakan Bencana di Dieng, Antara Asap Beracun dan Kekeringan
Kejadian Jogja yang tertutup abu menjadi awal perjalanan saya untuk mempelajari bencana, saya tidak mengira kalau sala langsung merasakan bagaimana bencana ada di sekitar kita. Situasi saat itu sangat tidak nyaman bahkan untuk mendapatkan udara segar sekedar untuk bernapas saja sangat sulit. Di sana saya mulai menyadari bencana itu bukan hanya sekedar hitung hitungan teoritis yang ada di awang-awang saja. Bencana lebih pada cerita tentang manusianya.
Sebenarnya banyak hal yang saya ingin ceritakan saat saya sedang berkuliah di Jogjakarta. Dari perkuliahan dan tugas yang cukup padat, keisengan saya mengikuti beberapa kegiatan selain perkuliahan seperti kepanitiaan acara seni, ikut acara pengerupukan sebelum Nyepi di Candi Prambanan dan Pura Banguntapan Jogjakarta. Hingga saya juga sempat menjadi guru les salah satu siswa SMA di Jogja. Tidak dipungkiri juga ada beberapa drama yang mungkin kurang begitu elok kalau diceritakan hehehe. Namun secara garis besar, banyak hal yang saya pelajari di perkuliahan di UGM saat itu.
Masuk ke akhir akhir perkuliahan saat saya memulai drama dan dilema per Thesis-an. Saat Thesis saya mengambil judul “Pengembangan Metode Analisis Risiko Kekeringan Berbasis Ketersediaan Data Spasial Beresolusi Spasial Menengah: Kasus pada Budidaya Kentang di Kawasan Dieng“. Judul yang cukup panjang dengan usaha pengerjaan yang cukup dipenuhi keringat juga.
Pada awal penelitian, saya dan beberapa rekan saya yang melakukan penelitian di Kawasan Dieng akhirnya mengadakan survey lapangan pertama bersama. Saat itu kami berencana untuk menginap sebentar di pos pengamatan gunung api di wilayah Dieng. Perjalanan cukup jauh kami lalui dari Jogja menuju Dieng menggunakan 2 sepeda motor. Saya bersama Mas Kusnadi dari NTB, Uda Febri dari Sumatera Barat, Dwi dari Tangerang.
Dieng dimalam hari sangat dingin, hal yang sama juga di pos pengamatan gunung api. Bahkan botol sampo yang saya bawa dari Jogja terlihat mengembung dan seketika muncrat kemana-mana saat dibuka tutupnya. Ini yang saya pelajari pertama. Saat di gunung, beberapa kemasan makanan dan lainnya yang di bawa di wilayah lang lebih rendah akan terlihat menggembung. Ini karena tekanan di daerah pegunungan relatif lebih rendah di daerah dataran rendah sehingga kemasan makanan dan minuman yang dirancang di dataran rendah akan cenderung kembung bila dibawa ke wilayah gunung.
Pada malam hari pukul 10 malam saya diajak untuk mengecek lokasi kawah gunung oleh Mas Kusnadi dan ditemani oleh salah satu petugas di sana Mas Aziz Yuliawan. Bertiga kami mengunjungi kawah Candra Di Muka, Sillary dan Kawah Sikidang. Saat itu kami mengukur kadar gas beracun di sana. Sulfida dan CO. Kami kesana dengan dilengkapi dengan peralatan standar seperti masker dan alat ukur konsentrasi gas.
Hal yang paling saya ingat saat itu adalah ketika dengan santainya mas Aziz bercerita tentang bahayanya apa yang kita lakukan saat itu. Memang di dieng berbeda dengan gunung api lainnya dan di beberapa spot jenis bahayanya adalah gas beracun. Untuk gas sulfida mungkin manusia masih bisa bertahan cukup lama namun bila menghirup gas yang mengandung CO maka sudah dipastikan kematian akan menyapa sekejap mata.
Akankah saya meneliti tentang Gas Beracun? Tentu tidak sodara-sodara, Saya justru tertarik untuk meneliti Kekeringan
karena cukup berbahaya penelitian tentang gas beracun maka tentu saja saya mengambil tema yang relatif aman buat saya yakni “kekeringan”. pada mulanya pembimbing tesis (Profesor Junun) saya menanyakan kenapa saya mengambil tema kekeringan di daerah yang basah seperti Dieng. hal yang sama juga ditanyakan oleh Dosen Penguji (Alm Prof. Sudibyakto) kenapa saya justru mengambil tema kekeringan di wilayah yang terlihat basah seperti itu.
Pertanyaan itu pun saya jawab, berdasarkan pengamatan saya saat studi lapan di awal perkuliahan saya melihat banyak sekali pipa pipa yang mengalirkan air ke tanaman kentang di Dieng. Dari banyaknya pipa yang menurut saya tidak umum tersebut saya melihat bahwa ada sesuatu di sana.
Yah, meskipun secara meteorologi curah hujan di Dieng masuk tinggi dan tidak mengalami penurunan. Namun dari aspek lainnya (Pertanian) Curah hujan yang sedemikian besar tersebut ternyata masih belum mencukupi kebutuhan Air Di Dieng yang akhirnya berpengaruh pada siklus hidrologi di sana dan mohon maaf harus dikatakan bahwa sistem pertanian di Sana mengancam keberadaan beberapa Telaga di sana.
(bersambung)
Salam
Dewa Putu Am.
Keterangan
Video Background by Erix Soekamti & Cover Photo by Pixabay from Pexels
Sempat penasaran dengan gas beracun yang telah disebutkan pada judul tulisan di artikel mas dewa, hal tersebut mengingatkan saya ke manga & anime Dr. Stone. Jika saja mas dewa meneliti tentang gas beracun mungkin akan lebih menarik perhatian para pembaca. Apalagi disangkutpautkan dengan Manga&Anime Dr. Stone yg kini tengah viral.
Saya sadari dari awal memang mas dewa tidak berkeinginan untuk meneliti Gas Beracun di kawasan tersebut, resiko yang tinggi mengancam jiwa – jiwa yang tenang, (lirik lagu Dewa19) dan urgensi tujuan penelitian gas beracun pun sepertinya rendah.
Saya sebagai pembaca merekomendasikan mas dewa untuk melakukan studi terhadap topik pola ruang yang terbentuk dari faktor bencana di daerah setempat.
Sekiranya berkenan untuk membagikan ilmu dari sudut pandang mas dewa sendiri yg saat ini sedang berjibaku dengan bencana. Mungkin mas dewa lah penyebab bencana tersebut.. oke ini semakin ngawur maka komentar saya cukupkan sampai disini saja. Semoga sukses dan sehat selalu mas dewa.